SEMARANG HARUS BERUBAH Menuju Kota Mandiri 2015SEMARANG
HARUS BERUBAH!! Kalimat itu terkesan sederhana, tetapi secara harfiah
mengandung makna yang sangat dalam. Dan itulah paradigma paten sekaligus
cita-cita yang ingin diwujudkan Harini Krisniati, Calon Walikota
Semarang 2010-2015. Apakah kondisi Kota Semarang belum seperti harapan
banyak orang? “Semarang bisa jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Saya
jamin!” kata Harini, satu-satunya wanita yang bertengger sebagai calon
walikota
DENGAN pengalamannya
sebagai birokrat yang meniti karir dari bawah, serta dukungan masyarakat
heterogen Kota Semarang, Harini yakin apa yang menjadi keinginannya
mengubah Kota Atlas menjadi Kota Mandiri ini akan dapat terwujud.
Syaratnya, Harini harus terpilih dulu sebagai Walikota Semarang periode
2010-1015. Bersama pasangannya, Ari Purbono, Harini pun yakin, dengan
ridho Tuhan YME dan dukungan penuh masyarakat, niat tulusnya untuk
memimpin Kota Lunpia bakal terwujud.
Untuk menuju pilar perubahan
itu, menurut mantan Plt Sekda Kota Semarang ini, sebenarnya tidak
sulit. “Semarang punya banyak potensi. Sayangnya selama ini tidak
digarap secara serius. Pemimpin hanya berkutat pada permasalahan yang
tampak di permukaan saja, sementara permasalahan lain yang lebih urgen
justru terabaikan. Dampaknya, Semarang tak pernah berubah,” katanya.
Ya,
Semarang dari dulu tak pernah berubah. Banjir dan rob tetap menjadi
persoalan rutin yang tak pernah teratasi. Jumlah rakyat miskin tetap
berlimpah, jaminan kesehatan dan pendidikan belum merata, dan jumlah
pengangguran terus bertambah. Di sisi lain, lapangan pekerjaan sangat
sulit. Sungguh menyedihkan! Sementara kalangan birokrat yang seharusnya
melayani masyarakat justru terkesima dengan nikmatnya kursi jabatan.
Kepentingan masyarakat terabaikan, sementara kepentingan pribadi menjadi
kenikmatan yang meninabobokan.
Pelayanan tata ruang publik yang
amburadul dan bertele-tele, misalnya, menjadikan calon investor gerah
untuk berinvestasi. Pelanggaran pun muncul. Banyak proyek bangunan yang
terus tumbuh dengan mangabaikan persyaratan pokok berupa perizinan. Coba
bayangkan, seandainya persoalan ini bisa teratasi, berapa jumlah
pendapatan asli daerah (PAD) yang bisa didapat.
Sebaliknya,
karena pelayanan yang amburadul tadi, berapa jumlah uang yang hilang?
Tentu saja fantastis. “Kalau saya jadi pemimpin, untuk sekadar membuat
perizinan hanya butuh waktu 21 hari. Pemberian izin yang terlalu lama
menjadikan investor malas berbisnis di Semarang. Pelayanan untuk itu
harus diubah. Saya jamin,’’ tukasnya mantap.
Persoalan-persoalan
pelik di depan mata itulah yang membuat Harini tergugah untuk bisa
cawe-cawe merombaknya, mengubahnya, dan mewujudkannya menuju Kota
Semarang sebagai Kota Mandiri yang dirindukan setiap individu warganya .
Dia punya prinsip, ada masalah tentu ada pula cara pemecahannya. Toh,
sekali lagi, Kota Semarang punya potensi untuk maju, berubah, dan
akhirnya benar-benar mandiri.
Sebagai Ibukota Provinsi dengan
luas wilayah 373,63 km yang berada pada lintas jalur jalan utara Pulau
Jawa yang menghubungkan Kota Surabaya dan Jakarta, Kota Semarang
memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi kawasan perkantoran,
pemukiman, perdagangan, industri, pendidikan, dan lain-lain. Semarang
punya Pelabuhan Tanjung Emas, Bandara Ahmad Yani yang bertaraf
internansional, dua Stasiun Kereta Api Tawang dan Poncol, serta Terminal
Terboyo dan Mangkang yang megah. Sayangnya, fasilitas perhubungan itu
kondisinya memrihatinkan. Rutinitas perbaikan dan perombakan sering
tanpa memikirkan kepentingan jauh ke depan.
Potensi-potensi luar
biasa itu masih lagi terselimuti persoalan rumit seperti urbanisasi
(masyarakat miskin perkotaan 136.000 KK per 25% dari jumlah penduduk
yang mencapai 1.500.000 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,4%). Persoalan
lain adalah pengangguran (107.333 orang), penyandang masalah sosial:
anak jalanan (966 orang), pengemis/waria (500 orang lebih), belum lagi
jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang jumlahnya hampir mencapai
ribuan orang.
Masih ada lagi masalah transportasi: angkutan kota
kurang lebih 2.000 unit, mobil pribadi sekitar 30 ribu, sepeda motor
sekitar 200 ribu, dan bus kira-kira 700 unit. Di sisi lain masih
maraknya pelanggaran tata ruang, dan satu lagi masalah klise adalah
belum teratasinya banjir dan rob.
Visi Misi
Menuju Kota
Mandiri 2015 memang sudah menjadi visi ke depan pasangan Harini-Ari
Purbono. Untuk mewujudkannya, pasangan ini menjabarkannya lewat misi
yang mengedepankan keharusan perubahan Kota Semarang. Yakni: Pertama,
Menjadikan entrepreneur Government dalam rangka reformasi birokrasi.
Kedua, Mengedepankan fungsi pemerintah sebagai motivator, regulator, dan
fasilitator dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Ketiga,
Mengoptimalkan petensi daerah guna mempercepat kemandirian daerah dan
pemerataan pembangunan.
Keempat, Meningkatkan pertumbuhan investasi
dan pendapatan daerah dengan regulasi perizinan. Kelima,
Mengintegrasikan dan menyinergikan programprogram penanggulangan
kemiskinan. Keenam, Revitalisasi ekonomi kerakyatan berbabsis koperasi.
Ketujuh, Mewariskan mental kejuangan dan spirit kepahlawanan kepada
masyarakat. Kedelapan, Memperluas pembangunan infrastuktur dengan
membuka akses simpul-simpul ekonomi untuk mempermudah pembangunan di
semua sektor. Kesembilan, menuntaskan persoalan-persoalan pokok di Kota
Semarang.
Prioritas PembangunanDari
paparan visi misi di atas tergambar, betapa peliknya problematika Kota
Semarang. Dan untuk membenahinya butuh pemimpin yang punya naluri,
kemauan, kemampuan, dan kepedulian luar biasa. Itu ada pada sosok
Harini. Figur perempuan yang dikenal pekerja keras dan disiplin.
Sebagai
pengejawantahan programnya, Harini sudah membuat skala prioritas
bidang-bidang pembangunan Dra Hj Harini Krisniati MM, Calon Walikota
Semarang SEMARANG HARUS BERUBAH Menuju Kota Mandiri 2015 SEMARANG HARUS
BERUBAH!! Kalimat itu terkesan sederhana, tetapi secara harfiah
mengandung makna yang sangat dalam. Dan itulah paradigma paten sekaligus
cita-cita yang ingin diwujudkan Harini Krisniati, Calon Walikota
Semarang 2010-2015. Apakah kondisi Kota Semarang belum seperti harapan
banyak orang? “Semarang bisa jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Saya
jamin!” kata Harini, satu-satunya wanita yang bertengger sebagai calon
walikota.
yang harus segera dilakukan, yaitu:
1. Penguatan ekonomi masyarakat, yang meliputi:
a. Rehab/pembangunan pasar tradisional (47 buah)
b. Bantuan dana bergulir dengan system tanggung renteng (Rp
20 miliar per tahun)
c. Penguatan institusi local ekonomi dengan sistem koperasi.
2. Peningkatan pelayanan publik, meliputi:
a. Regulasi perizinan
b. Pemberian intensif
c. Optimalisiasi One Stop Service (OSS)
3. Peningkatan infrastruktur kota:
a. Pembangunan ring road luar, untuk membuka simpulsimpul
ekonomi baru
b. Akses jalan ke Pelabuhan Tanjung Emas.
4. Peningkatan SDM (Pendidikan dan Kesehatan):
a. Enterpreneur Government di dalam birokrasi.
b. Pemetaan SDM sesuai minat dan bakat.
c. Pemanfaatan data base penduduk miskin untuk layanan kesehatan gratis
d. Wajib pendidikan 12 tahun.
5. Penanganan lingkungan hidup, meliputi:
a.
Penanganan rob dan banjir selesai tahun 2013, dengan luas 800 hektar
dan biaya Rp 1,7 triliun (pembangunan Waduk Jatibarang, Banjirkanal
Barat, drainase Semarang Tengah).
b. Layanan pengangkutan sampah 80% dari produksi sampah per hari untuk 150 kelurahan.
6. Pengenalan seni dan budaya melalui keluarga, dimulai dari usia prasekolah.
7. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak:
Peningkatan pendapatan keluarga sejahtera/PPKS,KDRI, Posyandu, pola asuh anak, PKK, penanganan penyandang masalah sosial.
8. Investasi optimalisasi zona industri, regulasi perizinan, lapangan kerja.
9. Kepemudaan dan olahraga, yakni pembangunan fasilitas pemuda dan olahraga terpadu.
10. Pariwisata (Kebun Binatan Wonosari & jaringan wisata)
11. Perdagangan & industri (sinergisitas antara pelaku usaha dan pemerintah)
12. Potensi laut dan agro (pembuatan pabrik pengolahan ikan, pengembangan varitas buah unggul.
13. Tranportasi:
a.
Manajemen transportasi missal dengan menambah 10 koridor BRT di bawah
badan layanan umum dengan melibatkan seluruh pelaku transportasi dan
memberlakukan tariff murah untuk pelajar/mahasiswa, dan buruh/pekekrja
dengan subsidi APBD.
b. Pembangunan fly over di berbagai titik jalan yang menimbulkan kemacetan.
14.
Air bersih: Membatasi perizinan pengambilan air bawah tanah dan
optimalisasi manajemen air bersih dengan mencari sumbersumber baru,
pembaharuan jaringan perpipaan, dan efisiensi di semua bidang.***
Ingin Jadi Pemimpin, Bukan Penguasa!
APA
beda pemimpin dan penguasa? Jika pertanyaan itu ditujukan pada
masyarakat awam, tentu tak akan muncul jawaban spesifik. Sebab dua kata
itu secara harfiah menunjukkan sosok seseorang yang bisa berbuat
segalanya sesuai dengan jabatannya. Tata cara bertindaknya pun bisa
sesuai aturan, bisa pula melanggar, tergantung niat sang pemangku
jabatan tadi. Begitu tipis perbedaan di dalamnya. Tetapi di mata Harini
Krisniati, satu-satunya sosok wanita yang mencalonkan diri sebagai
Walikota Semarang periode 2010-2015, pemimpin dan penguasa tentu
berbeda. Sama-sama punya kedudukan, wibawa, dan keistimewaan, tetapi
keduanya bisa punya nilai berbeda di hati masyarakat, atau komunitas
yang menjadi bawahannya.
Lalu antara keduanya, mana yang cocok dan diharapkan oleh Harini? “Saya ingin jadi pemimpin,
bukan penguasa,’’ tegasnya.
Tentu
hal itu ada hubungannya dengan pencalonannya sebagai walikota. Sekadar
catatan, semua calon yang ada seluruhnya diusung oleh kekuatan partai
politik. Tanpa “kendaraan” parpol, sepertinya memang mustahil seseorang
bisa maju sebagai balon walikota. Dan sekarang terbukti, untuk
Pilwalkot Semarang 18 April mendatang, tidak ada satu pun calon
perseorangan. Yakni calon yang maju tanpa diusung partai politik.
Bukan
berarti Harini antipati dengan kekuatan massa parpol. Sebab dari
organisasi inilah kekuatan massa bisa digalang. Harini pun memutuskan
niatnya menjadi cawalkot dengan berangkat dari sebuah koalisi partai.
Namun
sebagai antisipasi jika nanti mendapat amanat rakyat untuk menjadi
Walikota Semarang, Harini tidak ingin disebut sebagai penguasa. “Saya
lebih sreg dengan sebutan pemimpin,’’ katanya mantap. Menurut ibu dua
anak itu, karena calon walikota diusung oleh kekuatan parpol, biasanya
ketika sudah menjabat walikota, sosoknya berubah menjadi sosok
penguasa. Masyarakat menjadi komoditas politik, sementara
program-program yang dicanangkan hanya menimbulkan ketidakpastian di
kalangan masyarakat. Sosok penguasa selalu bersandar pada organisasi
politik yang pernah mengusungnya.
Ketika ada kritik atas
tindakannya yang menyimpang, parpol pengusung membela mati-matian.
Tidak jarang penguasa berlindung di balik nama besar partai, sementara
program pembangunan yang pernah digembor-gemborkan di panggung kampanye
hanya menjadi catatan yang anehnya –selalu-- bisa
dipertanggungjawabkan. Ironis, memang. Tapi itulah sosok penguasa.
Lain
halnya dengan sosok pemimpin, seperti yang diidam-idamkan Harini. Ia
tetap menyadari sebagai bagian dari kekuatan parpol, terutama parpol
yang mengusungnya. Tetapi ketika sudah didapuk menjadi seorang
pemimpin, ia tidak akan mengorbankan masyarakat sebagai komoditas
politik. “Masyarakat harus menjadi obyek pembangunan, bukan subyek,’’
katanya.
Satu hal lagi, figur pemimpin secara otomatis akan
menyadari dirinya sebagai motivator penggerak, punya kreativitas,
inovatif, dan bekerja atas nama kepentingan rakyat. Tidak ada alasan
politis dalam menjalankan kepemimpinan, meski kekuatan parpol
senantiasa dijadikan partner atau mitra dalam menggali informasi soal
kebutuhan sekaligus keluhan masyarakat.
Pengalaman segudang
sebagai birokrat, bisa menjadi modal bagi Harini. Seringnya turun ke
bawah mendengar aspirasi masyarakat, juga menjadi pemacu untuk mengubah
Kota Semarang yang sarat dengan problematika. Tingginya angka
kemiskinan, pengangguran, dan sempitnya lapangan kerja, harus dicarikan
jalan keluar sesegera mungkin. Lima tahun memimpin telah diperhitungkan
matang bagaimana mengelola Semarang menjadi lebih baik, sehingga
kepercayaan mamsyarakat terhadap pemimpinnya benar-benar bukan
kamuflase. Dan itulah sebenarnya jatidiri seorang pemimpin, bukan
penguasa.***
Bio HariniHARINI
KRISNIATI lahir di Magelang 25 Desember 1957. Di kota itu pula ia
menempuh jenjang pendidikan SD dan SMP, sebelum akhirnya pindah di
Semarang dan meneruskan ke jenjang SMA serta Fisip Undip (1982). Sedang
S2-nya (Magister Management) ia tempuh di UII Yogyakarta tahun 2000.
Dari
pernikahannya dengan Ir Indra Trisnadi dikaruniai dua anak, Dina
Harindra Trisnani yang disunting Kapten (Mar) Achmad Yulianto, dan
Oscara Trisnanda. Sebagai abdi masyarakat di jajaran Pemkot Semarang,
berbagai jabatan penting pernah ia emban, yakni sebagai Kabag Humas,
Kabag Pemerintahan/Ka Satpol PP, Kabag Organisasi, Kepala Dinas Koperasi
di UKM, Kepala BKPM PB & A, Kepala Dinas Sosial Pemuda dan
Olahraga, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Plt Sekda Kota Semarang.
Di
sela-sela kesibukannya sebagai PNS, Harini juga masih disibukkan dengan
berbagai jabatan di organisasi. Ia pernah aktif di GMNI, pernah pula
menjabat Sekretaris Korpri Kota Semarang, Ketua Departement Wanita FKDPI
Jawa Tengah, Wakil Ketua Alumni Undip, Ketua Yayasan Abdi Masyarakat,
Ketua Umum Persani Kota Semarang, dan Ketua Kwarcab Pramuka Kota
Semarang.
Dari berbagai pengabdian itu, Harini menerima beberapa
penghargaan, antara lain Satya Lencana Presiden RI Tahun 2007, dan Smart
Woman Tahun 2008.***