SEMARANG-Bagi Firman S Permana, General Manager Dafam Hotel Semarang, urusan memasak bukanlah hal asing. Pasalnya, pria kelahiran Surabaya ini sudah terbiasa memasak sejak dirinya masih dudu ...

Read more »

Jabatan General Manager Hotel Dafam Semarang, yang saat ini direngkuhnya, boleh jadi merupakan “puncak kejutan” dari lelakon hidup panjang dan penuh kegilaan itu.   JOGJA dan Jakarta. ...

Read more »

dr Hj Widya Kandi Susanti MM Bupati Kendal dr Hj Widya Kandi Susanti MM layak disebut perempuan penjelajah. Dia bertekad mengunjungi 284 desa yang ada di wilayahnya demi menyerap aspirasi ...

Read more »

Hanik Khoiru Sholikah Pariwisata dan politik. Dua bidang yang jelas berseberangan, tapi bisa sejalan di tangannya. Asal tepat kelola, keduanya bisa sama-sama menyenangkan dan dinikmati ban ...

Read more »

Ajeng Anindya Prasalita (tengah) Cantik juga gesit. Ya, dialah atlet sepaturoda andalan Semarang. Kisah mahasiswi arsitektur Undip yang juga staf Dinpora Jateng ini di lintasan sepatu r ...

Read more »

Direktur Al Ridho, Mia Inayati Idealismenya terhadap pendidikan anak membawanya ke ranah yang belum pernah dilakoninya: mengelola sekolah alam. Sebuah konsep pendidikan yang tak memangkas, me ...

Read more »

Inu Kencana Syafei Kini Jadi Rektor  Kampus ”Mewah” Masih ingatkah Inu Kencana Syafei dan perannya dalam geger IPDN sekitar empat tahun silam? Dialah yang berani membongkar kebobroka ...

Read more »

SEMARANG HARUS BERUBAH Menuju Kota Mandiri 2015SEMARANG HARUS BERUBAH!! Kalimat itu terkesan sederhana, tetapi secara harfiah mengandung makna yang sangat dalam. Dan itulah paradigma p ...

Read more »
Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Post

dr Hj Widya Kandi Susanti MM: Perempuan Penjelajah

Written By Harian Semarang on Rabu, 16 November 2011 | 04.10

dr Hj Widya Kandi Susanti MM
Bupati Kendal dr Hj Widya Kandi Susanti MM layak disebut perempuan penjelajah. Dia bertekad mengunjungi 284 desa yang ada di wilayahnya demi menyerap aspirasi rakyat. Butuh ketahanan fisik yang luar biasa. Apa resepnya?

SEJAK 27 September lalu, Bupati Kendal dr Hj Widya Kandi Susanti MM mulai melakukan jelajah desa yang sudah diprogramkan sejak dia dilantik 23 Agustus 2010. Untuk mengunjungi 284 desa dari 20 kecamatan yang ada, butuh waktu sekitar dua sampai tiga bulan. Mampukan dia melakukannya?

“Insya Allah. Semua sudah saya programkan. Saya harus membaur dengan rakyat, agar rakyat mengenal pemimpinnya, sekaligus saya bisa menyerap aspirasi yang ada di masyarakat,” katanya mantap saat ditemui Harsem di suatu pagi.

Tentu ini bukan program main-main. Tidak sekadar turba, tapi benar-benar ingin memotivasi masyarakat dan pejabat agar lebih maksimal dalam menjalani hidup keseharian, punya tujuan pasti, dan bisa saling interaksi. Sebab harus diakui, banyak permasalahan di masyarakat yang sering tidak terdengar pemimpinnya. Dan, Widya Kandi bukan tipe pemimpin seperti itu. Bukan pemimpin yang mau begitu saja menerima laporan bawahannya.

Suatu ketika, Widya Kandi pernah menerima laporan dari bawahan tentang situasi desa dan kecamatan yang zero permasalahan. Baik soal kemiskinan, penyakit, atau soal-soal pelik lainnya. “Saya paling benci kalau dilapori keadaan yang zero-zero. Katanya tidak ada warga yang terkena penyakit, tidak ada warga yang miskin, dan lain sebagainya. Itu menyesatkan, sebab kita tidak bisa mencari solusi penyelesaian. Dan benar juga, setelah saya cek, ternyata banyak warga yang menderita sakit TBC. Coba kalau itu dilaporkan apa adanya, pasti segera bisa diobati dan dilakukan pencegahan,” tuturnya.

Bupati pun memberi arahan pada semua bawahan, jangan takut melaporkan keadaan suatu wilayah apa adanya. Tak cukup sampai di situ, Widya Kandi pun terjun langsung ke masyarakat setiap hari. Pernah dalam sehari dia nekat mengunjungi 16 desa. Luar biasa!! Apa resepnya?

“Semangat, ikhlas, dan selalu bahagia atau senang. Saya memimpin Kendal ini tanpa beban., jadi setiap hari enjoy. Sampai-sampai pejabat yang lain heran. Bahkan ada yang masuk angin dan kerokan. Banyak juga yang tanya resepsnya, ha..ha..ha,” ujar bupati mengenang.

Memang tak sekadar modal semangat, ikhlas, dan bahagia saja untuk menjangkau kunjungan sekian desa setiap hari. Sebagai dokter, Widya Kandi juga menyadari arti pentingnya menjaga kesehatan. Dia pun mewarisi keterampilan ibunya meracik minuman suplemen kesehatan berbahan baku herbal. Seperti ramuan dari polo, kencur, merica, cengkeh, dan jahe. Bahan-bahan itu setelah dicuci kemudian digeprak, direbus sampai mendidih, dan diminum jika badan sudah mulai terasa loyo atau capai.

“Ramuan itu bisa menghilangkan rasa kemeng, mencegah dan mengobati masuk angin, dan saat tidur bisa pulas sehingga paginya segar kembali. Terkadang saya juga membuat ramuan kunir asem yang ditambah sirih dan tumbar satu genggam. Kalau ramuan yang ini bisa melancarkan peredaran darah, menghilangkan infeksi. Ada lagi resep ramuan kinang yang terdiri dari sirih, gambir, dan kapur sirih yang bisa mencegah kanker kandungan,” katanya panjang lebar membocorkan resepnya.

Dari kunjungannya ke desa-desa, Widya Kandi jadi tahu kebutuhan rakyatnya. Banyak proyek jalan desa yang mangkrak gara-gara kurang material langsung bisa diselesaikan. Kebutuhan alat-alat olahraga pemuda desa yang biasanya hanya jadi wacana juga bisa dirampungkan.

Satu lagi yang perlu dicatat, sebagai bupati, Widya Kandi tidak ingin disubyo-subyo ketika mengunjungi sebuah desa. “Saya tidak perlu disambut secara mewah. Saya hanya ingin mendengar permasalahan sekaligus menyerap aspirasi rakyat. Perekonomian harus jalan, rakyat harus sehat, pendidikan harus terjamin,” katanya mengingatkan.

Bersama bawahannya, Widya Kandi pun membawa bekal sendiri. Jika tiba waktunya makan, biasanya bersama rombongannya, bupati mencari tempat yang asyik untuk makan sambil lesehan. Misalnya di hutan. Sampai-sampai bawahannya heran, sebab mereka sudah menyiapkan sebuah tempat nyaman seperti rumah makan atau restoran.

“Kalau cuma di restoran saya bisa. Tapi kan bukan itu tujuannya. Itu sih namanya bupati wisata kuliner. Tidak perlu yang mewah, yang penting pesan ke masyarakat sampai. Toh mereka sudah menyambutnya dengan antusias dan luar biasa, tidak perlu direpoti lagi,” ungkapnya.

Tentu sikap merakyat dan mau terjun langsung ke masyarakat seperti ini patut ditiru kalangan pejabat lainnya. Misalnya para wakil rakyat. Tidak sekadar mendengar, tetapi terjun langsung ke masyarakat dan mencarikan solusi permasalahan yang ada. (udins/dnr)

BioWidya
Nama   : dr H Widya Kandi Susanti MM
Tempat/tgl lahir  : Semarang, 26 Mei 1964
Agama   : Islam
Anak : 4 ( empat ) orang
Jabatan terakhir  : Anggota DPRD Kabupaten Kendal, Tahun 2009-2014 (Wakil Ketua DPRD)
Pendidikan terakhir  : Magister Management Universitas Semarang, lulus tahun 2006

Hanik Khoiru Sholikah: Politik itu Seni

Hanik Khoiru Sholikah
Pariwisata dan politik. Dua bidang yang jelas berseberangan, tapi bisa sejalan di tangannya. Asal tepat kelola, keduanya bisa sama-sama menyenangkan dan dinikmati banyak orang.

LATAR belakang pendidikan yang dienyamnya dulu, kini telah menjadikan bekal tersendiri baginya untuk menggeluti dunia politik. “Saya dulu lulusan pariwisata. Namun jangan dikira itu nggak ada hubungannya dengan kegiatan yang saya geluti sekarang, lho,” kata Hanik Khoiru Sholikah, satu ketika.
    
Anggota Komisi B DPRD Kota Semarang dari Fraksi PDIP Perjuangan ini menilai, dunia politik sebenarnya tidak sekejam atau sebusuk yang banyak orang kira. Hal itu, menurutnya, tergantung cara seseorang mengolah dan mengelolanya, sehingga pekerjaan politik bisa menyenangkan dan dinikmati banyak orang pula.
    
“Sebagaimana latar belakang saya, dalam dunia pariwisata itu, kita dituntut untuk melayani, selalu membuat suasana menjadi nyaman, dan berupaya agar tetap disukai banyak orang. Sementara di dunia politik, hal yang sama dapat kita terapkan pula, yakni harus bisa menjaga iklim kondusif dengan selalu melayani masyarakat secara nyata,” papar perempuan asli Blitar ini.
    
Dengan konsep seperti itu, penilaian atas politik di mata masyarakat akan berubah. Bahkan, Hanik berharap, semua politikus dapat berpikiran sama, karena nantinya dapat memberikan pemahaman yang baik soal perpolitikan di Indonesia.
    
“Jika konsep seperti itu bisa dipahami banyak orang, maka politik tidak lagi dinilai kejam atau busuk. Namun nanti, banyak orang akan menilai bahwa politik itu merupakan seni yang bisa dipelajari dan diterapkan oleh dan untuk semua,” ujar ibu tiga anak ini.
    
Konsep melayani itu sudah menjadi pemikirannya sejak kanak-kanak. Dari pemikiran tersebut, orangtuanya ikut mendukungnya, karena dinilai ke depan bisa bermanfaat bagi semua orang.
    
“Sikap melayani itu saya wujudkan ke bidang pariwisata. Penerapannya sekarang, saya aktif di dunia organisasi. Bahkan pekerjaan sebagai anggota dewan saat ini saya fokuskan untuk melayani masyarakat umum. Jadi lebih klop,” ungkapnya sembari tersenyum.

Tantangan Dewan
Seputar tantangan selama menggeluti dunia politik, Hanik mengaku, hal itu sudah menjadi ”makanan sehari-hari”-nya. Mulai dari kecaman atau sikap pesimistis masyarakat atas kalangan dewan hingga perbedaan persepsi di internal dewan sendiri.
 
Namun dari tantangan yang dihadapinya itu, dia berusaha untuk memilih bersikap ”dingin.” Artinya, dia berusaha menanggapi setiap tantangan secara tenang, sepanjang perbedaan pendapat itu masih bisa dimusyawarahkan antarinternal dewan.
    
Sedangkan sikap masyarakat yang masih berpandangan ”miring” terhadap dewan, dia yakin, hal itu masih bisa ”diperbaiki.” Di lingkungannya sendiri, diakuinya, masih banyak masyarakat yang memiliki sikap seperti itu.
   
“Masih banyak sekali masyarakat yang menilai seperti itu. Tapi kita masih bisa menunjukkan kinerja, tidak hanya pekerjaan di gedung dewan yang selama ini dinilai masyarakat cuma rapat dan bikin perda. Tindakan nyata di lapangan yang harus ditunjukkan semua anggota dewan. Dengan turun ke lapangan itu, maka kita bisa mengetahui apa yang dihadapi, dikeluhkan, dan dibutuhkan masyarakat. Dari situ, masyarakat pun bisa memahami soal pekerjaan kedewanan selama ini,” harapnya. ariel noviandri/dnr

BioHanik
Nama : Hanik Khoiru Sholikah
Kelahiran : Blitar, 29 Januari 1974
Orangtua : H Mushronef-Hj Susiah
Suami  : Irwan Gunadarma
Anak  :
1.    Reyhan Ilham Pratama
2.    Reynastrada Syahra Athilla
3.    Reyestrada Muhamad Taffazul
Alamat    : Perumahan Griya Medoho Asri No 83, Semarang
Pendidikan    :
•    DIII Pariwisata Untag Semarang
•    SMA Negeri Blitar
•    SMP Negeri Blitar
•    SD Negeri Blitar
Organisasi : KNPI Kota Semarang
Partai  : PDIP Perjuangan
Pekerjaan  : Anggota Komisi B DPRD Kota Semarang Periode 2009-2014
Hobi  : Travelling
Obsesi : Sukses dalam kondisi apa pun

Ajeng Anindya Prasalita: Lintasan Keseimbangan

Ajeng Anindya Prasalita (tengah)
Cantik juga gesit. Ya, dialah atlet sepaturoda andalan Semarang. Kisah mahasiswi arsitektur Undip yang juga staf Dinpora Jateng ini di lintasan sepatu roda, sungguh tak biasa.

BAGI seorang atlet, bisa menyabet medali sejak awal terjun di cabang olahraga yang ditekuninya adalah hal yang luar biasa. Apalagi dia mampu menggondol medali itu di ajang nasional seperti yang dilakukan Ajeng Anindya Prasalita. Atlet sepaturoda ini sudah meraih medali di PON 2000 Jatim, saat ia masih kelas IV SD.

Cewek kelahiran Semarang, 12 Juli 1990 ini mengaku mengenal olahraga sepaturoda dari sang kakak, Arya Perdana yang juga sejak kecil menekuni olahraga satu ini dan kemudian bergabung dengan klub Eagle. Namun kakaknya tidak meneruskan lagi sebagai atlet sepaturoda, lantaran saat itu tidak bisa membagi waktunya dengan sekolah.

“Kalau saya memang dari dulu sudah senang dan niat di sepaturoda, ya nggak ada masalah. Pintar-pintarnya saya membagi waktu antara urusan di lintasan dengan kuliah dan kerja sebagai staf Dinpora Jateng. Keseimbangan itu mesti saya jaga,” ujarnya. Menjaga keseimbangan di dalam dan di luar lintasan, ibarat lintasan keseimbangan itu sendiri.

Dalam dua perhelatan PON 2004 di Sumsel dan PON 2008 di Kaltim, gadis berpostur 164 cm/54 kg ini selalu menyumbangkan emas untuk kontingen Jateng. Atas prestasinya di ajang PON tersebut, ia memperoleh penghargaan diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dari pemerintah provinsi Jateng.

Ajeng juga menyumbangkan emas bagi Kota Semarang saat berlaga di ajang Porprov Solo 2009, dengan empat emas. Bahkan pada penyelenggaraan Porprov empat tahun sebelumnya di Kota Semarang, ia menyumbangkan emas terbanyak juga dengan jumlah emas yang sama. Pada Piala Bupati Sidoarjo VIII, Februari lalu, ia juga menyabet tiga emas dan satu perak.

Mahasiswi Semester IV Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) ini berharap, cabang sepaturoda tetap dilombakan dalam ajang SEA Games dan Asian Games. Karena menurutnya, Indonesia akan berjaya mendulang emas jika cabang ini digelar di event olahraga tingkat regional tersebut, terutama di ajang SEA Games.

Altet yang mukim di Jalan Padi Utara IV/ K.104 Genuk Indah ini sering ditemani oleh ibunya, Tisnaningsih saat berlatih di arena sepaturoda yang terletak di kompleks Stadion Jatidiri.

Road to SEA Games
Kini Ajeng mesti bersiap menuju ajang SEA Games, setelah baru saja tampil di Yeosu World Roller Speed Skating Championship di Kota Yeosu, Korsel, 29 Agustus dan 6 September lalu.

Target yang dibebankan cukup berat, sepuluh besar. Dengan persaingan yang superketat, Ajeng bisa bersaing meski tak meraih gelar. “Karena kejuaraan dunia, target awal memang meleset, karena didominasi Eropa dan Amerika,” katanya.

Usai Kejuaraan Dunia Yeosu, atlet Pelatnas akan dikirim ke trek Jakabaring, Palembang yang menjadi venue SEA Games. Tes event di Jakabaring rencananya akan dilakukan pada 14-15 Oktober mendatang. Selain itu, Ajeng juga akan mengikuti World Cup Marathon di Cina, akhir bulan ini.

Di SEA Games, tuan rumah Indonesia menargetkan bisa meraih enam emas. Salah satu nomor yang diandalkan ialah milik Ajeng, nomor seperti jarak pendek 500-1.000 meter (sprint), jarak menengah 5.000 meter, dan jarak jauh 10.000 meter. wiwig prayugi/dnr

BioAjeng
NAMA: Ajeng Anindya Prasalita
PANGGILAN: Ajeng
LAHIR: Semarang, 12 Juli 1990
ALAMAT: Jalan Padi Utara IV/K.104 Genuk Indah, Semarang
PENDIDIKAN: Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Undip
PEKERJAAN: PNS Dinpora Jateng
HOBI: Jalan-jalan
PRESTASI TERBAIK:
- 1 Emas PON XVI/2000 Surabaya
- 4 Emas Porprov XII/2005 Kota Semarang
- 1 Emas PON XVII di Kalimantan Timur 2008
- 4 Emas Porprov VIII/2009 Solo
- Peringkat VI Haining Skate Festival 2010
- Timnas SEA Games 2011

Mia Inayati Rachmania : Bebas Berkreativitas

Direktur Al Ridho, Mia Inayati
Idealismenya terhadap pendidikan anak membawanya ke ranah yang belum pernah dilakoninya: mengelola sekolah alam. Sebuah konsep pendidikan yang tak memangkas, melainkan membebaskan siswa berkreativitas.

SEORANG Mia Inayati Rachmania (43), tak pernah membayangkan akan berkecimpung di dunia pendidikan. Yang diketahui olehnya hanyalah bahwa dirinya sangat menyukai biologi. Lain tidak. Usai kuliah, menjadi pengajar pun masih jauh dari benaknya.

Minatnya menggeluti dunia pendidikan muncul tatkala anak pertama beranjak masuk sekolah dasar. “Saat anak pertama saya menginjak usia sekolah dasar, saya mulai berpikir tentang pendidikan anak. Saya berpendapat bahwa untuk bisa menerapkan idealisme, maka harus memiliki sekolah sendiri. Sejak itulah saya mulai concern pada pendidikan,” ujar Direktur Sekolah Alam Ar Ridho ini mengawali kisah.

Diakui, proses pendirian sekolah alam tidak mulus. Apalagi di Semarang dan Jawa Tengah belum ada satu pun model sekolah alam. Setelah berkonsultasi dengan sang suami yang juga berkecimpung di dunia pendidikan, disepakati untuk mendirikan sekolah alam tersebut.

“Alasan saya memilih sekolah alam adalah agar anak dapat lebih mendekatkan diri kepada ciptaan Allah. Selain itu juga agar anak bisa belajar langsung dan mudah menangkap informasi ilmiah,” ujar ibu 11 anak ini.
Baginya, melalui sekolah alam ini anak akan semakin mudah diajak bersyukur. Karena saat pembelajaran berlangsung, anak lebih banyak menggunakan panca inderanya, dibandingkan pembelajaran di dalam kelas.

Mia memang memiliki konsep pendidikan yang berbeda dari orang kebanyakan. Baginya, pembelajaran siswa tidak harus –-bahkan tidak perlu-– di dalam kelas. Karena dengan belajar di dalam kelas, seringkali anak justru akan merasa tertekan, dan akhirnya tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik.

“Anak kelas satu SD ibaratnya baru mengenal dunia baru, selepas dirinya dari taman kanak-kanak, yang penuh dengan bermain. Oleh karenanya, mengapa kita harus memaksa dia untuk belajar dengan cara duduk di kelas? Mengapa kita tidak biarkan saja mereka belajar di luar sambil bermain?” tanya Mia bernada retoris.

Sembari bercerita, istri Nurul Khamdi ini memberi contoh tentang berbagai pelatihan yang diberikan kepada orang-orang dewasa.

“Mereka mendapatkan pelatihan dengan cara melakukan game. Tujuannya agar mereka senang, dan mampu menyerapkan materi dengan lebih baik. Bila terhadap orang dewasa saja dilakukan dengan metode bermain, mengapa kepada anak-anak justru tidak diperbolehkan?” tanyanya sekali lagi.

Disiplin Berbeda
Dirinya acap mendapatkan keluhan dari wali murid, perihal putra-putri mereka yang menjadi tidak disiplin. Namun dengan tegas Mia menyatakan bahwa model pembelajaran mereka menerapkan disiplin dari sisi yang berbeda.

“Saya tidak pernah mempermasalahkan baju yang dikenakan, pakai ikat pinggang atau tidak, bahkan bagaimana anak belajar. Yang terpenting adalah anak menyelesaikan tugas yang diberikan. Usia sekolah anak merupakan masa pertumbuhan. Melarang anak sama halnya memangkas kreativitas mereka. Selama yang dilakukan anak tidak berbahaya, kami masih mengizinkannya,” tukasnya.

Akan halnya dengan sekolah alam yang digawanginya, Mia menegaskan tetap memegang kendali kurikulum bersama sang suami. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga “kemurnian” idealisme yang telah lama mereka usung.

Terkait sekolah model lain –-seperti homeschooling-– Mia menyatakan sependapat dengan catatan tidak ada sekolah yang benar-benar bisa mengakomodasi siswa tersebut.

“Tidak ada masalah dengan sistem tersebut, selagi memang benar-benar dibutuhkan. Namun perlu diperhatikan, model ini membutuhkan keterlibatan orangtua yang lebih besar dibandingkan sekolah pada umumnya. Bagaimana pun, homeschooling membuat sang anak lebih banyak berada di rumah. Apabila orangtua tidak mampu memberikan pendampingan yang cukup, dikhawatirkan justru akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” paparnya. nur hidayat/dnr

BioMia
Nama : Mia Inayati Rachmania
Tanggal lahir : 12 April 1968
Alamat : Jalan Kelapa Kopyor 8 BN-23 Bukit Kencana Jaya, Semarang
Pendidikan : FMIPA UI
Profesi : Direktur Sekolah Alam Ar Ridho
Suami : Nurul Khamdi BEng
Anak : 11 orang
Motto Hidup : Bermanfaat untuk orang banyak dan masuk surga

Inu Kencana Syafei

Inu Kencana Syafei
Kini Jadi Rektor 
Kampus ”Mewah”

Masih ingatkah Inu Kencana Syafei dan perannya dalam geger IPDN sekitar empat tahun silam? Dialah yang berani membongkar kebobrokan di tempatnya mengajar. Apa kesibukannya setelah ”terpental” dari IPDN?

KEBERANIANNYA membongkar aib di IPDN dimulai sekitar tahun 2003 lalu. Dia juga ikut menguak misteri kematian praja IPDN, Cliff Muntu pada April 2007 silam. Aksinya yang menyuarakan kebenaran di kampus yang terletak di Jatinangor ini rupanya berdampak buruk pada karirnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Setelah kasus Cliff Muntu mencuat, Inu pun disingkirkan dari IPDN. Dia kemudian dimutasikan ke Depdagri dan tidak mengajar di IPDN. Kemudian, Inu mundur dari pekerjaannya tanpa mendapat uang pensiun. “Semula saya dimutasikan ke Depdagri dengan diberi jabatan struktural yang rendah. Akhirnya harus pensiun karena jabatan itu tidak pas untuk orang berusia di atas 55 tahun. Sementara jabatan fungsional saya saat itu bisa sampai umur 65 tahun. Ini sama saja namanya pemecatan dengan kelicikan,” katanya.

Inu menuturkan pemecatan dirinya dari IPDN memang terkait kasus kematian praja Cliff Muntu yang tidak wajar. Begitu kasus itu muncul, pihak IPDN sudah siap memecatnya dengan cara memberikan jabatan struktural yang rendah. Setelah menjabat, dirinya mengaku diharuskan pensiun.

“Selama tiga tahun saya tidak menerima pensiun, karena memang tidak dikasihkan. Mereka bilang saya harus datang ke Depdagri dan IPDN ya itu tidak mungkin, sampai sana saja saya diusir dan didemo. Seperti itu kan tidak etis, begitu saya menuntut hak saya akhirnya uang pensiun keluar juga dan langsung saya belikan mobil,” ungkapnya.

Membongkar aib yang terjadi di kampus IPDN memang membutuhkan nyali besar, namun dia merasa dongkol dan gelisah melihat kenyataan yang terjadi dan tidak segera ditindak. Akhirnya dengan penuh keberanian pun dia melaporkan ke pihak kepolisian dan Presiden.

“Ini anak orang mati lho, itu anak manusia. Saya gelisah melihat apa yang terjadi di IPDN kala itu. Ada yang mati saya langsung lapor polisi untuk ditindak. Kalau pun saya dipecat masa bodoh,” bebernya. Inu menceritakan menuntut ilmu di IPDN kita bisa kehilangan rasa jijik. “Mereka disuruh makan muntah bersama-sama dalam rangka kebersamaan, itu kan tidak benar.

Padahal rasul mengajarkan kita tidak boleh makan yang menjijikan. Ada yang bilang Pak Inu ikut menempeleng, ya jelas saya tempeleng ada siswa bawa WTS ke kamar, masa saya harus diamkan saja. Bukan pengkhianat tapi menguak kebenaran,” lanjutnya.

Keberanian Inu mengungkap kasus kematian di IPDN, juga berdampak pada keluarganya. Ancaman dan teror baik melalui telepon maupun sms mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari. Inu pun meminta bantuan keamanan dari Kapolri demi keamanan dirinya dan keluarga. Inu diberikan ponsel yang dapat disadap oleh pihak kepolisian.

“Jadi polisi bisa langsung melacak siapa yang meneror. Selama tiga tahun, saya dan keluarga dikawal polisi jika bepergian. Mulai dari polisi yang berseragam dan polisi yang mengenakan pakaian preman. Keluarga punmenerima keadaan ini,” jelasnya.

Inu pun mengaku salut atas ketegaran istri tercintanya yang mengetahui dirinya dipensiunkan. Seketika saya dinyatakan dipecat, saya langsung memberi tahu istri melalui ponsel. Saya berkata hari ini dipecat dan diusir dari kampus IPDN.

Hanya dalam hitungan tiga detik istri saya menjawab, Kita tidak dipecat oleh Allah, kalau Allah yang memecat kita di bumi mana kita akan tinggal. Seluruh alam raya ini milik Allah. “Saya salut dengan ketegarannya dalam menerima apa yang terjadi,” jawabnya.

Setelah pensiun, Inu mengaku mengirim surat lamaran ke beberapa perguruan tinggi. Ada sekitar puluhan surat lamaran yang dia kirim, dan ternyata semuanya diterima. “Saya heran kok diterima semua lamarannya, maka dari itu saya juga harus menyeleksi tawaran itu semua. Mengajar S2 dan S3, kalau yang S1 kalau honornya bagus aja,” katanya sembari tertawa. 

Akhirnya, menjadi rektor Universitas Pandanaran merupakan salah satu tawaran yang dia terima. Inu mengatakan dirinya saat ini mengajar di 15 perguruan tinggi, di antaranya Universitas Diponegoro, Universitas Udayana, dan Unilamb Banjarmasin. “Termasuk salah satunya Universitas Pandanaran, karena di universitas  ini tidak ada jurusan ilmu pemerintahan. Mereka meminta saya untuk menjadi rektor. Saya pun meminta untuk dicarikan lawan, rupanya karena tidak ada calon lain maka saya diangkat menjadi rektor, juga mengajar mata kuliah Pancasila,” jelasnya. (nji)

Menulis 67 Buku

Inu Kencana Syafei
MEMANG Universitas Pandanaran bisa dikatakan berbeda dengan PTS lainnya. Universitas Pandanaran yang lokasinya sangat ”mewah” atau mepet sawah ini sempat tidak menerima mahasiswa baru. Bahkan ruangan rektor yang kini ditempati Inu Kencana sangatlah sederhana, ruangan kecil yang hanya berukuran 3x3 meter ini dan berada di pojok lantai dua ini dimanfaatkan sebagai ruang rektor.

Bahkan ruangan tersebut pun tidak dilengkapi dengan faslitas lampu penerangan dan AC, hanya terlihat meja dan kursi rektor, meja dan kursi untuk tamu. Serta beberapa plakat, dan dispenser. Sangat berbeda jauh dengan kondisi ruangan Inu saat dirinya menjadi dosen di IPDN. Menanggapi hal tersebut, dirinya tidak kaget, malah ini merupakan tantangan bagi pria kelahiran 14 Juni 1952.

“Kalau di IPDN bagaimana kita menghabiskan uang, sedangkan di Unpand bagaimana kita mencari uang. Itu lebih bagus dan lebih bergairah,” katanya. Inu memaparkan banyak perguruan tinggi dimulai dari bawah, seperti kursus, kemudian meningkat menjadi akademi, sekolah tinggi lalu menjadi universitas. Sedangkan Pandanaran langsung menjadi sebuah universitas, yang mahasiswanya diambil dari pemerintah kota. Resikonya banyak mahasiswa yang drop dan jumlahnya menjadi semakin sedikit.
Bahkan Unpand sempat tidak menerima mahasiswa baru dan meluluskan mahasiswa yang tersisa. Angka nilai terendah saat itu yang penting lulus dulu mahasiswa yang tersisa. Namun sekarang jumlah mahasiswa meningkat bertambah tiga kali lipat. “Orang harus berjiwa besar, Allah menolong kita jangan patah semangat dulu. Berjuang dulu sampai di batas akhir perjuangan, terus kita pasrah dan berdoa,” ucapnya yang mengaku tidak bisa menyetir mobil.

“Saya sudah mengarang 67 judul buku,” kata Inu Kencana saat pertama kali bertemu Harsem di ruangan rektor yang terlihat sangat sederhana ini. Salah satu buku yang sudah dia buat diperlihatkan kepada Harsem adalah Sistem Politik Indonesia. Dari mengarang buku inilah yang membuatnya akan dikukuhkan menjadi gurubesar di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY).

“Banyak profesor doktor yang membajak buku orang lain. Saya ingin kalau memang menjadi pakar, jadilah pakar yang "kualified" katanya.
Di tengah kesibukannya mengajar, bapak tiga orang anak ini mengaku gemar membaca. Setidaknya ada sebanyak 11.000 koleksi buku terpajang rapi di kediamannya. Dan semua buku yang dimiliki dia sudah baca, bahkan ada beberapa buku yang dia baca berulang-ulang. “Sudah tamat semua saya baca, beberapa buku malah saya baca ulang,” katanya.

Hijrah ke Semarang, rupanya bisa mendekatkan Inu dengan anak-anaknya. Dia mengaku senang mengajar apalagi mengajar di Semarang yang notabene kota kelahiran Istri tercintanya. “Kebetulan anak saya sudah lulus kuliah di Undip, semua ada di Semarang. Anak bungsu saya sedang melanjutkan kuliah kedokteran di UMY,” jelasnya. (wam/nji)

BIO INU
Nama
Dr Drs H Inu Kencana Syafei BA MSi
Pangkat/Gol Terakhir
Pembina Utama Muda (IV/C)
Jabatan Terakhir
Lektor Kepala (1-50-01) Pensiun Juli 2007
Tempat/Tanggal Lahir
Payakumbuh, 14 Juni 1952
Alamat
Perum Permata Biru Blok AB 17 Cinunuk
Cileunyi Bandung
Kegemaran
Menulis Buku
Pendidikan
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri lulus 1979
S1 Institut Ilmu Pemerintahan lulus 1987
S2 Universitas Gajahmada lulus 2001
S3 Universitas Padjajaran
lulus 2010
Istri
Indah Prasetiati Syafei
Anak
Raka Manggala Syafiie S Psi
(Dosen Unpand)
Nagara Balagama Syafiie  SSn
(Dosen Unpand)
Periskha Bunda Syafiie
(Mahasiswa UMY)

Dra Hj Harini Krisniati MM,

SEMARANG HARUS BERUBAH Menuju Kota Mandiri 2015

SEMARANG HARUS BERUBAH!! Kalimat itu terkesan sederhana, tetapi secara harfiah mengandung makna yang sangat dalam. Dan itulah paradigma paten sekaligus cita-cita yang ingin diwujudkan Harini Krisniati, Calon Walikota Semarang 2010-2015. Apakah kondisi Kota Semarang belum seperti harapan banyak orang? “Semarang bisa jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Saya jamin!” kata Harini, satu-satunya wanita yang bertengger sebagai calon walikota

DENGAN pengalamannya sebagai birokrat yang meniti karir dari bawah, serta dukungan masyarakat heterogen Kota Semarang, Harini yakin apa yang menjadi keinginannya mengubah Kota Atlas menjadi Kota Mandiri ini akan dapat terwujud. Syaratnya, Harini harus terpilih dulu sebagai Walikota Semarang periode 2010-1015. Bersama pasangannya, Ari Purbono, Harini pun yakin, dengan ridho Tuhan YME dan dukungan penuh masyarakat, niat tulusnya untuk memimpin Kota Lunpia bakal terwujud.

Untuk menuju pilar perubahan itu, menurut mantan Plt Sekda Kota Semarang ini, sebenarnya tidak sulit. “Semarang punya banyak potensi. Sayangnya selama ini tidak digarap secara serius. Pemimpin hanya berkutat pada permasalahan yang tampak di permukaan saja, sementara permasalahan lain yang lebih urgen justru terabaikan. Dampaknya, Semarang tak pernah berubah,” katanya.

Ya, Semarang dari dulu tak pernah berubah. Banjir dan rob tetap menjadi persoalan rutin yang tak pernah teratasi. Jumlah rakyat miskin tetap berlimpah, jaminan kesehatan dan pendidikan belum merata, dan jumlah pengangguran terus bertambah. Di sisi lain, lapangan pekerjaan sangat sulit. Sungguh menyedihkan! Sementara kalangan birokrat yang seharusnya melayani masyarakat justru terkesima dengan nikmatnya kursi jabatan. Kepentingan masyarakat terabaikan, sementara kepentingan pribadi menjadi kenikmatan yang meninabobokan.

Pelayanan tata ruang publik yang amburadul dan bertele-tele, misalnya, menjadikan calon investor gerah untuk berinvestasi. Pelanggaran pun muncul. Banyak proyek bangunan yang terus tumbuh dengan mangabaikan persyaratan pokok berupa perizinan. Coba bayangkan, seandainya persoalan ini bisa teratasi, berapa jumlah pendapatan asli daerah (PAD) yang bisa didapat.

Sebaliknya, karena pelayanan yang amburadul tadi, berapa jumlah uang yang hilang? Tentu saja fantastis. “Kalau saya jadi pemimpin, untuk sekadar membuat perizinan hanya butuh waktu 21 hari. Pemberian izin yang terlalu lama menjadikan investor malas berbisnis di Semarang. Pelayanan untuk itu harus diubah. Saya jamin,’’ tukasnya mantap.

Persoalan-persoalan pelik di depan mata itulah yang membuat Harini tergugah untuk bisa cawe-cawe merombaknya, mengubahnya, dan mewujudkannya menuju Kota Semarang sebagai Kota Mandiri yang dirindukan setiap individu warganya . Dia punya prinsip, ada masalah tentu ada pula cara pemecahannya. Toh, sekali lagi, Kota Semarang punya potensi untuk maju, berubah, dan akhirnya benar-benar mandiri.

Sebagai Ibukota Provinsi dengan luas wilayah 373,63 km yang berada pada lintas jalur jalan utara Pulau Jawa yang menghubungkan Kota Surabaya dan Jakarta, Kota Semarang memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi kawasan perkantoran, pemukiman, perdagangan, industri, pendidikan, dan lain-lain. Semarang punya Pelabuhan Tanjung Emas, Bandara Ahmad Yani yang bertaraf internansional, dua Stasiun Kereta Api Tawang dan Poncol, serta Terminal Terboyo dan Mangkang yang megah. Sayangnya, fasilitas perhubungan itu kondisinya memrihatinkan. Rutinitas perbaikan dan perombakan sering tanpa memikirkan kepentingan jauh ke depan.

Potensi-potensi luar biasa itu masih lagi terselimuti persoalan rumit seperti urbanisasi (masyarakat miskin perkotaan 136.000 KK per 25% dari jumlah penduduk yang mencapai 1.500.000 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,4%). Persoalan lain adalah pengangguran (107.333 orang), penyandang masalah sosial: anak jalanan (966 orang), pengemis/waria (500 orang lebih), belum lagi jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang jumlahnya hampir mencapai ribuan orang.

Masih ada lagi masalah transportasi: angkutan kota kurang lebih 2.000 unit, mobil pribadi sekitar 30 ribu, sepeda motor sekitar 200 ribu, dan bus kira-kira 700 unit. Di sisi lain masih maraknya pelanggaran tata ruang, dan satu lagi masalah klise adalah belum teratasinya banjir dan rob.

Visi Misi
Menuju Kota Mandiri 2015 memang sudah menjadi visi ke depan pasangan Harini-Ari Purbono. Untuk mewujudkannya, pasangan ini menjabarkannya lewat misi yang mengedepankan keharusan perubahan Kota Semarang. Yakni: Pertama, Menjadikan entrepreneur Government dalam rangka reformasi birokrasi. Kedua, Mengedepankan fungsi pemerintah sebagai motivator, regulator, dan fasilitator dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Ketiga, Mengoptimalkan petensi daerah guna mempercepat kemandirian daerah dan pemerataan pembangunan.
Keempat, Meningkatkan pertumbuhan investasi dan pendapatan daerah dengan regulasi perizinan. Kelima, Mengintegrasikan dan menyinergikan programprogram penanggulangan kemiskinan. Keenam, Revitalisasi ekonomi kerakyatan berbabsis koperasi. Ketujuh, Mewariskan mental kejuangan dan spirit kepahlawanan kepada masyarakat. Kedelapan, Memperluas pembangunan infrastuktur dengan membuka akses simpul-simpul ekonomi untuk mempermudah pembangunan di semua sektor. Kesembilan, menuntaskan persoalan-persoalan pokok di Kota Semarang.

Prioritas Pembangunan
Dari paparan visi misi di atas tergambar, betapa peliknya problematika Kota Semarang. Dan untuk membenahinya butuh pemimpin yang punya naluri, kemauan, kemampuan, dan kepedulian luar biasa. Itu ada pada sosok Harini. Figur perempuan yang dikenal pekerja keras dan disiplin.

Sebagai pengejawantahan programnya, Harini sudah membuat skala prioritas bidang-bidang pembangunan Dra Hj Harini Krisniati MM, Calon Walikota Semarang SEMARANG HARUS BERUBAH Menuju Kota Mandiri 2015 SEMARANG HARUS BERUBAH!! Kalimat itu terkesan sederhana, tetapi secara harfiah mengandung makna yang sangat dalam. Dan itulah paradigma paten sekaligus cita-cita yang ingin diwujudkan Harini Krisniati, Calon Walikota Semarang 2010-2015. Apakah kondisi Kota Semarang belum seperti harapan banyak orang? “Semarang bisa jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Saya jamin!” kata Harini, satu-satunya wanita yang bertengger sebagai calon walikota.
yang harus segera dilakukan, yaitu:
1. Penguatan ekonomi masyarakat, yang meliputi:
a. Rehab/pembangunan pasar tradisional (47 buah)
b. Bantuan dana bergulir dengan system tanggung renteng (Rp
20 miliar per tahun)
c. Penguatan institusi local ekonomi dengan sistem koperasi.

2. Peningkatan pelayanan publik, meliputi:
a. Regulasi perizinan
b. Pemberian intensif
c. Optimalisiasi One Stop Service (OSS)

3. Peningkatan infrastruktur kota:
a. Pembangunan ring road luar, untuk membuka simpulsimpul
ekonomi baru
b. Akses jalan ke Pelabuhan Tanjung Emas.

4. Peningkatan SDM (Pendidikan dan Kesehatan):
a. Enterpreneur Government di dalam birokrasi.
b. Pemetaan SDM sesuai minat dan bakat.
c. Pemanfaatan data base penduduk miskin untuk layanan kesehatan gratis
d. Wajib pendidikan 12 tahun.

5. Penanganan lingkungan hidup, meliputi:
a. Penanganan rob dan banjir selesai tahun 2013, dengan luas 800 hektar dan biaya Rp 1,7 triliun (pembangunan Waduk Jatibarang, Banjirkanal Barat, drainase Semarang Tengah).
b. Layanan pengangkutan sampah 80% dari produksi sampah per hari untuk 150 kelurahan.

6. Pengenalan seni dan budaya melalui keluarga, dimulai dari usia prasekolah.
7. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak:
Peningkatan pendapatan keluarga sejahtera/PPKS,KDRI, Posyandu, pola asuh anak, PKK, penanganan penyandang masalah sosial.
8. Investasi optimalisasi zona industri, regulasi perizinan, lapangan kerja.
9. Kepemudaan dan olahraga, yakni pembangunan fasilitas pemuda dan olahraga terpadu.
10. Pariwisata (Kebun Binatan Wonosari & jaringan wisata)
11. Perdagangan & industri (sinergisitas antara pelaku usaha dan pemerintah)
12. Potensi laut dan agro (pembuatan pabrik pengolahan ikan, pengembangan varitas buah unggul.

13. Tranportasi:
a. Manajemen transportasi missal dengan menambah 10 koridor BRT di bawah badan layanan umum dengan melibatkan seluruh pelaku transportasi dan memberlakukan tariff murah untuk pelajar/mahasiswa, dan buruh/pekekrja dengan subsidi APBD.
b. Pembangunan fly over di berbagai titik jalan yang menimbulkan kemacetan.
14. Air bersih: Membatasi perizinan pengambilan air bawah tanah dan optimalisasi manajemen air bersih dengan mencari sumbersumber baru, pembaharuan jaringan perpipaan, dan efisiensi di semua bidang.***

Ingin Jadi Pemimpin, Bukan Penguasa!
APA beda pemimpin dan penguasa? Jika pertanyaan itu ditujukan pada masyarakat awam, tentu tak akan muncul jawaban spesifik. Sebab dua kata itu secara harfiah menunjukkan sosok seseorang yang bisa berbuat segalanya sesuai dengan jabatannya. Tata cara bertindaknya pun bisa sesuai aturan, bisa pula melanggar, tergantung niat sang pemangku jabatan tadi. Begitu tipis perbedaan di dalamnya. Tetapi di mata Harini Krisniati, satu-satunya sosok wanita yang mencalonkan diri sebagai Walikota Semarang periode 2010-2015, pemimpin dan penguasa tentu berbeda. Sama-sama punya kedudukan, wibawa, dan keistimewaan, tetapi keduanya bisa punya nilai berbeda di hati masyarakat, atau komunitas yang menjadi bawahannya.

Lalu antara keduanya, mana yang cocok dan diharapkan oleh Harini? “Saya ingin jadi pemimpin,
bukan penguasa,’’ tegasnya.

Tentu hal itu ada hubungannya dengan pencalonannya sebagai walikota. Sekadar catatan, semua calon yang ada seluruhnya diusung oleh kekuatan partai politik. Tanpa “kendaraan” parpol, sepertinya memang mustahil seseorang bisa maju sebagai balon walikota. Dan sekarang terbukti, untuk Pilwalkot Semarang 18 April mendatang, tidak ada satu pun calon perseorangan. Yakni calon yang maju tanpa diusung partai politik.

Bukan berarti Harini antipati dengan kekuatan massa parpol. Sebab dari organisasi inilah kekuatan massa bisa digalang. Harini pun memutuskan niatnya menjadi cawalkot dengan berangkat dari sebuah koalisi partai.

Namun sebagai antisipasi jika nanti mendapat amanat rakyat untuk menjadi Walikota Semarang, Harini tidak ingin disebut sebagai penguasa. “Saya lebih sreg dengan sebutan pemimpin,’’ katanya mantap. Menurut ibu dua anak itu, karena calon walikota diusung oleh kekuatan parpol, biasanya ketika sudah menjabat walikota, sosoknya berubah menjadi sosok penguasa. Masyarakat menjadi komoditas politik, sementara program-program yang dicanangkan hanya menimbulkan ketidakpastian di kalangan masyarakat. Sosok penguasa selalu bersandar pada organisasi politik yang pernah mengusungnya.

Ketika ada kritik atas tindakannya yang menyimpang, parpol pengusung membela mati-matian. Tidak jarang penguasa berlindung di balik nama besar partai, sementara program pembangunan yang pernah digembor-gemborkan di panggung kampanye hanya menjadi catatan yang anehnya –selalu-- bisa dipertanggungjawabkan. Ironis, memang. Tapi itulah sosok penguasa.

Lain halnya dengan sosok pemimpin, seperti yang diidam-idamkan Harini. Ia tetap menyadari sebagai bagian dari kekuatan parpol, terutama parpol yang mengusungnya. Tetapi ketika sudah didapuk menjadi seorang pemimpin, ia tidak akan mengorbankan masyarakat sebagai komoditas politik. “Masyarakat harus menjadi obyek pembangunan, bukan subyek,’’ katanya.

Satu hal lagi, figur pemimpin secara otomatis akan menyadari dirinya sebagai motivator penggerak, punya kreativitas, inovatif, dan bekerja atas nama kepentingan rakyat. Tidak ada alasan politis dalam menjalankan kepemimpinan, meski kekuatan parpol senantiasa dijadikan partner atau mitra dalam menggali informasi soal kebutuhan sekaligus keluhan masyarakat.

Pengalaman segudang sebagai birokrat, bisa menjadi modal bagi Harini. Seringnya turun ke bawah mendengar aspirasi masyarakat, juga menjadi pemacu untuk mengubah Kota Semarang yang sarat dengan problematika. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan sempitnya lapangan kerja, harus dicarikan jalan keluar sesegera mungkin. Lima tahun memimpin telah diperhitungkan matang bagaimana mengelola Semarang menjadi lebih baik, sehingga kepercayaan mamsyarakat terhadap pemimpinnya benar-benar bukan kamuflase. Dan itulah sebenarnya jatidiri seorang pemimpin, bukan penguasa.***

Bio Harini

HARINI KRISNIATI lahir di Magelang 25 Desember 1957. Di kota itu pula ia menempuh jenjang pendidikan SD dan SMP, sebelum akhirnya pindah di Semarang dan meneruskan ke jenjang SMA serta Fisip Undip (1982). Sedang S2-nya (Magister Management) ia tempuh di UII Yogyakarta tahun 2000.

Dari pernikahannya dengan Ir Indra Trisnadi dikaruniai dua anak, Dina Harindra Trisnani yang disunting Kapten (Mar) Achmad Yulianto, dan Oscara Trisnanda. Sebagai abdi masyarakat di jajaran Pemkot Semarang, berbagai jabatan penting pernah ia emban, yakni sebagai Kabag Humas, Kabag Pemerintahan/Ka Satpol PP, Kabag Organisasi, Kepala Dinas Koperasi di UKM, Kepala BKPM PB & A, Kepala Dinas Sosial Pemuda dan Olahraga, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Plt Sekda Kota Semarang.

Di sela-sela kesibukannya sebagai PNS, Harini juga masih disibukkan dengan berbagai jabatan di organisasi. Ia pernah aktif di GMNI, pernah pula menjabat Sekretaris Korpri Kota Semarang, Ketua Departement Wanita FKDPI Jawa Tengah, Wakil Ketua Alumni Undip, Ketua Yayasan Abdi Masyarakat, Ketua Umum Persani Kota Semarang, dan Ketua Kwarcab Pramuka Kota Semarang.

Dari berbagai pengabdian itu, Harini menerima beberapa penghargaan, antara lain Satya Lencana Presiden RI Tahun 2007, dan Smart Woman Tahun 2008.***

Soemarmo HS

Masyarakat Harus Sejahtera

Pemilihan Walikota Semarang 18 April mendatang, bakal didominasi kalangan birokrat. Salah satunya adalah H Soemarmo Hadi Saputro. Pria kelahiran 13 Agustus 1959 yang terakhir menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) itu, hapal betul permasalahan pelik Kota Atlas, sehingga jika terpilih sebagai walikota, dia sudah menyiapkan konsep pemecahannya.

BAGI masyarakat Kota Semarang, nama Soemarmo HS sudah tidak asing lagi. Sosoknya kembali mencuat sebagai bahan pemberitaan media dan perbincangan masyarakat ketika jabatannya sebagai sekda tibatiba dilengser oleh Walikota Semarang Sukawi Sutarip. Namun keputusan orang nomor satu di Semarang itu mengundang kontroversi. Apalagi setelah Gubernur Bibit Waluyo ikut cawe-cawe dan mengatakan bahwa keputusan walikota tidak bisa dibenarkan.

Soemarmo pun tetap dianggap sebagai Sekda Kota Semarang yang sah. Lepas dari permasalahan pro kontra jabatan sekdanya, figur Soemarmo memang layak disebut sebagai salah satu birokrat yang ikut menentukan arah pembangunan Kota Lunpia ini.

Suami Hj Siti Suhermin Martiningsih itu punya pengalaman segudang di ranah birokrasi. Sebab dia memang merintis karir dari bawah. Dari seorang Kaur Bandes, kemudian jadi lurah, Sekwilcam, camat, Kabag, Asisten Tata Praja, Kepala Bappeda, sampai jabatan tertinggi sebagai Sekda Kota Semarang.

Mungkin dari perjalanan pengabdian yang sangat panjang itu pula, hati kecil Soemarmo tebersit keinginan untuk memperbaiki Kota Atlas yang dia nilai belum sesuai keinginan masyarakat. Segala problema yang sangat kompleks harus segera diatasi. Dan puncaknya, dengan niat tulus atas nama pengabdian, Soemarmo memberanikan diri untuk bersaing dalam pilwalkot mendatang.

‘’Insya Allah jika saya mendapat amanat, saya akan mencurahkan perhatian secara maksimal untuk membangun Kota Semarang. Saya banyak tahu permasalahan kota ini, dan saya sudah menyiapkan konsep pemecahannya,’’ tutur Soemarmo.

Di benak bapak empat anak ini, ada lima masalah pokok Kota Semarang yang sebisa mungkin segera diatasi, yaitu masalah kemiskinan dan pengangguran, rob dan banjir, tata ruang dan infrastruktur, pelayanan publik, serta masalah kesetaraan dan keadilan gender. Berapa sebenarnya jumlah penduduk miskin di Kota Semarang? Dari total jumlah penduduk 1.742.655 jiwa, ternyata masih ada 476.400 jiwa atau 131.240 kepala keluarga penduduk miskin. Belum lagi masalah pengangguran yang persentasenya mencapai 32,44% dari jumlah total penduduk.

Angka itu bisa saja terus bertambah jika konsep penanganannya kurang menyentuh akar permasalahan, kurang terpola dan terpadu, serta kurang tepat sasaran. Permasalahan pengangguran muncul sebagai akibat dari dampak ekonomi global, kualitas angkatan kerja tidak sebanding dengan kebutuhan lapangan kerja, serta pertumbuhan tenaga kerja lebih besar dari lapangan kerja.

‘’Untuk mengatasi semua itu, menurut saya, setidaknya ada lima konsep atau program untuk menanggulanginya,’’ kata Soemarmo. Yang pertama, lanjut Soemarmo, perlunya pemberian bantuan langsung kepada kelompok warga masyarakat miskin yang sudah sangat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Kedua, pemberian subsidi biaya kepada kelompok warga miskin. Subsidi itu bisa berupa pendidikan murah, beasiswa, pengambangan rusunawa, panti sosial, pembukaan lapangan kerja padat karya secara berlanjut, dan masih banyak lagi.

Kemudian yang ketiga, pemberian stimulan peningkatan pendapatan masyarakat miskin. Keempat, pengembangan pemberdayaan potensi daerah secara efektif untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, yakni gerakan bangkit 1000 koperasi, bantuan modal bergulir bagi UMKM, pengembangan gerakan bapak asuh dari UMKM binaan pemkot, dan lain-lain.

Sementara yang kelima, peningkatan pelayanan KB melalui penyediaan alat kontrasepsi gratis bagi masyarakat miskin di setiap tempat pelayanan KB.

Tata Ruang dan Infrastruktur
Permasalahan lain yang menurut Soemarmo harus segera diatasi adalah soal tata ruang kota dan infrastruktur. Dalam masalah ini, Soemarmo menyiapkan sembilan konsep atau program. Yakni: Pembangunan
1. Rusunawa bagi masyarakat berpenghasilan rendah
2. Penataan traffic manajemen lalulintas dan pembangunan jaringan jalan lingkar dalam, lingkar tengah, dan lingkar luar, yang meliputi: l Pengembangan jalan lokal primer dan lokal sekunder serta jalan lingkungan. l Rencana jalan tol Semarang- Batang. l Rencana jalan tol Semarang-Solo l Jalur iner ring road l Jalur outer ring road.
3. Revitalisasi taman kota dan pembatasan koefisien dasar pembangunan (KDB) terutama pada
wilayah pusat .
4. Pemerataan dan pengaturan transportasi missal yang murah, aman, dan nyaman.
5. Pembangunan city walk koridor Jl Pandanaran-Jl Pemuda-Jl Agus Salim-Jl MT Haryono-Jl Ahmad Yani dan Jl Gajahmada.
6. Pembangunan E-Gov system aplikasi pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang kota, sebagai upaya penjaminan konsistensi dan komitmen terhadap Rencana Tata Ruang Kota (RTRK).
7. Revitalisasi pasar tradisonal.
8. Revitalisasi Taman Budaya Raden Saleh sebagai pasar seni dan budaya.
9. Pembangunan Semarang Trade Centre sebagai sarana informasi dan jasa bagi pelaku pasar.

Konsep lain yang sudah disiapkan Soemarmo adalah program pelayanan publik, yang meliputi:
a. Peningkatan pelayanan One Stop Service (OSS) dengan melakukan pembenahan pada beberapa aspek, seperti regulasi, standar pelayanan, dan SDM.
b. Peningkatan jaminan pelayanan prima sesuai Standar Pelayanan Publik.
c. Pelayanan dokumen kependudukan (akte kelahiran, KTP, KK) gratis.
d. Peningkatan dana santunan kematian bagi warga miskin
e. Fasilitasi program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah).

Tentu saja semua program di atas sudah melalui pemikiran dan penelitian yang matang, sehingga Soemarmo berani menjadikan sebagai konsep dan program jika nanti terpilih sebagai Walikota Semarang 2010-2015.
“BANGKIT MAS” Semarang Bangkit, Maju, Sejahtera

SEMARANG dikenal sebagai kota perdagangan. Hal ini mengandung arti kota yang mendasarkan bentuk aktivitas pengembangan ekonomi yang menitikberatkan pada aspek perniagaan, sesuai dengan karakteristik masyarakat dan kota, yang di dalamnya melekat penyelenggaraan fungsi jasa yang menjadi tulang punggung pembangunan, dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
VISI
Terwujudnya Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa yang berbudaya menuju masyarakat sejahtera.

MISI
1. Mewujudkan sumberdaya manusia dan masyarakat Kota Semarang yang berkualitas
2. Mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien, meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta menjunjung tinggi supremasi hukum.
3. Mewujudkan kemandirian dan daya saing daerah.
4. Mewujudkan tata ruang wilayah dan infrastruktur yang berkelanjutan.
5. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera.

5 Konsep Atasi Banjir dan Rob
SEMARANG kaline banjir! Itulah realitas yang ada. Tak cuma kali atau sungai. Perkampungan dan jalan-jalan protokal sudah sejak lama juga menjadi tumpuan air hujan, meski hanya sesaat. Yang kedua adalah rob. Di beberapa kawasan perkampungan, terutama yang dekat pantai, air rembesan laut selalu jadi langganan. Upaya mengatasi dua masalah itu, rob dan banjir, nyaris tak pernah membuahkan hasil.

Program apa yang disiapkan Soemarmo jika nanti terpilih menjadi Walikota Semarang? ‘’Setidaknya ada lima program yang harus saya realisasikan untuk mengatasi masalah banjir dan
rob. Saya akan serius menangani dua permasalahan itu. Dengan dukungan penuh masyarakat, saya yakin bisa,’’ ujar Soemarmo mantap.

Untuk mengatasi masalah rob dan banjir, menurut Soemarmo, harus diketahui dulu pangkal permasalahannya. Banjir dan rob, lanjut Soemarmo, terjadi karena menurunnya kapasitas saluran drainase yang disebabkan sedimentasi, sampah, dan bangunan liar. Juga meningkatnya beban drainase akibat alih fungsi lahan yang tidak diikuti dengan pengembalian fungsi resapan dan tampungan.

Penyebab lain adalah intrusi air asin di Kota Semarang bawah serta gejala penurunan elevasi tanah (land subsidence), dan naiknya muka air laut sebagai dampak dari pemanasan global. “Masih ada penyebab lain, yakni operasi pemeliharaan yang kurang optimal dan penegakan hukum masih lemah,’’ tambah Soemarmo.

Untuk mengatasi persoalan pelik tadi, ada lima cara atau pemecahan yang bisa dilakukan, baik secara teknis maupun non-teknis.

1. Pemecahan secara teknis (bagian hilir)
l Sistem polder: tanggul laut, tanggul keliling, tampungan, sistem pintu & stasiun pompa, dan internal drain.
l Memanen air hujan dengan penampung air hujan.
l Mengembalikan daerah sempadan sungai/saluran sebagaimana mestinya.

2. Pemecahan secara teknis (bagian hulu)
l0 Memanen air hujan dengan resapan dan tampungan (embung, lumbung air, dll).
l Mengembalikan daerah sempadan sungai/saluran sebagaimana mestinya.

3. Pemecahan secara nonteknis
l Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang lingkungan sehat, drainase, sampah, dll, melalui public education dengan memanfaatkan media massa.
l Meningkatkan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan system drainase.
l Meningkatkan kerjasama dengan pemerintah kabupaten yang terkait secara hidrologis.
l Menegakkan hukum (law enforcement).

4. Pemecahan nonteknis
l Publik education melalui slogan di bidang kebersihan “yen durung biso ngresiki, ojo ngregeti”.
l Pengalihan profesi bagi masyarakat yang terkena dampak proyek Waduk Jatibarang, antara lain: petani di Jatibarang dialihprofesikan menjadi petani ikan/pemandu wisata/pengrajin handycraft.
l Pembentukan kelompok swadaya masyarakat dalam pengelolaan drainase khususnya di wilayah Banjirkanal Barat dan Timur.
l Meningkatkan kerjasama dengan pemerintah kabupaten yang terkait secara hidrologis.
l Menegakkan hukum (law enforcement)

5. Pemberian sanksi dan penindakan tegas (eksekusi) terhadap bangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang kota.

Anak Pejuang Mengabdi Semarang

SOEMARMO HADI SAPUTRO, dilahirkan dari keluarga pejuang. Ayahnya, Abdullah Hadi Supadmo (alm) adalah seorang anggota TNI AD, sedang ibunya, Saudah (almh) menjadi anggota Legiun Veteran RI. Ia merintis karir sebagai pegawai negeri sipil dari tingkat bawah, sampai akhirnya menjadi Kaur Bangdes Kecamatan Semarang Utara (1983), Kaur Bangdes Kecamatan Semarang Barat (1985), Lurah Panjangan (1991), Lurah Kalipancur (1993), Sekwilcam Kecamatan Ngaliyan (1995), Camat Ngaliyan (1997), Camat Banyumanik (1999), Kepala Bagian Kepegawaian (2000), Kepala Bagian Umum (2002), Asisten Tata Praja (2004), Kepala Bappeda (2005), dan Sekda Kota Semarang (2006-2009).

Soemarmo juga mengabdi lewat beberapa organisasi, baik sebagai ketua, pembina, maupun pengurus biasa. Yaitu Ketua FKKPI Jateng, Ketua Pencak Silat Perisai Diri Jateng, Ketua Dewan Pembina Jamaah Ahli Toriqot Mutabaroh Indonesia (JATMI) Jateng, Dewan Pembina Vespa Mania Jateng, Ketua Umum PBVSI Kota Semarang, Ketua Jamaah Haji Fatimah Zahra Kota Semarang, Ketua Umum LPTQ Semarang, Ketua Korpri Kota Semarang, Ketua Harian PSIS, Wakil Ketua Kwarcab Pramuka Kota Semarang, Dewan Penasihat Komunitas Cah Semarang, Ketua Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kota Semarang, Majelis Pertimbangan Organisiasi Pemuda Pancasila Kota Semarang, dan Pembina Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia Kota Semarang.


Bio Soemarmo

Nama : Drs H Soemarmo Hadi Saputro MSi
Tempat/Tgl Lahir : Cijulang, 13 Agustus 1959
Nama Istri : Hj Siti Suhermin Martiningsih
Nama Anak :
1. Gumilang Febriansyah Wisudananto
2. H Juan Rama
3. Anggita Putri Sekarsari
4. Meliya Anindyaguna Rosyda
Menantu : Flora Melani Widhasmara
Cucu : Farrel Arkan Maulana Wijoyo
Alamat Rumah : Jl Bukit Umbul No 2 Semarang
PENDIDIKAN
1. SD Negeri Bantul (1971)
2. SLTP Negeri 1 Bantul (1974)
3. SLTA Negeri Banjarnegara (1977)
4. D-III APMD Yogyakarta (1982)
5. S-1 STPMD Yogyakarta (1992)
6. S-2 MAP Undip Semarang (2005)

Bambang Raya Saputra

Kober Ngopeni

Dari lima pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Semarang, bisa dikatakan hanya Bambang Raya Saputra-lah “orang swasta” di luar lingkungan Pemkot Semarang. Dan tercatat baru kali ini warga etnis Tionghoa menjadi calon wakil walikota, dia adalah Kristanto yang akan mendampingi Bambang Raya sebagai pasangannya dalam Pilwalkot Semarang.

ADALAH Bambang Raya Saputra, calon Walikota Semarang 2010-2015 yang optimistis mampu membawa Kota Semarang mengejar ketertinggalannya dengan kota-kota besar lain di Pulau Jawa. Ini didasari dari pengalamannya sebagai seorang legislator, baik saat menjadi anggota DPRD Kota Semarang maupun ketika mewakili Jawa Tengah di MPR RI.

“Saya bersama Pak Kristanto, yang juga mantan legislator baik di tingkat Kota Semarang maupun Jawa Tengah telah menyiapkan sejumlah program yang saya yakini mampu menjadikan Kota Semarang memiliki akselerasi untuk bersaing dengan kota-kota lain,” kata Bambang.

Suami Rr Sri Adyati ini berkeinginan menjadikan Kota Semarang sebagai ibukota provinsi yang harus mampu menjadi barometer pertumbuhan kota atau kabupaten di sekitarnya. Untuk menjadikan kota ini sebagai pusat pertumbuhan, diperlukan terobosan baru yang sangat tergantung dari good will seorang walikota.

Menurutnya, seorang pemimpin tidak hanya cukup mengerti mengenai selukbeluk birokrasi pemerintahan, namun juga harus memiliki cukup waktu untuk menyerap aspirasi dari masyarakatnya. Masyarakat Kota Semarang mendambakan pemimpin yang kober ngopeni, ora ngrusuhi rakyat, yaitu memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan kepentingan rakyat dan tidak membebani mereka.

Tidak dapat dipungkiri, rakyat sering mengeluh tentang pemimpin-pemimpin yang cenderung lebih mengedepankan kepentingan birokrasi, bahkan membebani mereka dalam berbagai hal, karena rakyat diposisikan hanya sebagai obyek, bukan subyek pembangunan.

Mantan atlet PON ini melihat, pembangunan yang selama ini dilakukan, cenderung ke arah pembangunan yang bersifat fisik. Ada salah satu sektor yang selama ini terkesan ditinggalkan, yakni pembangunan budaya. “Kita sepakat, kota ini harus menjadi kota metropolitan yang maju secara fisik dan religius. Tapi perlu diingat, pembangunan yang dilakukan harus tetap beradasarkan pada akar kebudayaan masyarakatnya,” ungkapnya.

Dorongan kuat untuk mencapai kota metropolitan dengan kemajuan-kemajuan fisik, perdagangan dan jasa, menurutnya, terbukti belum mampu mengangkat kesejahteraan rakyat secara optimal. Masih banyak orang yang merasa termarjinalkan, terpinggirkan, dan tidak dilibatkan dalam proses pembangunan kota. Bertebarannya mal-mal misalnya, telah mematikan
pasar-pasar tradisional, kurang baiknya penataan PKL juga memarjinalisasi rakyat kecil. Semua itu perlu penanganan yang serius, penerapan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Kontrak Sosial
Menurut ayah empat putra ini, jabatan walikota adalah suatu amanah yang harus dipertanggungjawabkan, baik kepada Tuhan maupun kepada masyarakat. Terlebihlebih di era pemilihan secara langsung sekarang ini, secara tersirat walikota telah ”menandatangani“ kontrak
sosial dengan masyarakat pemilih.

Kalau rakyat dan ridho Allah SWT memberikan kepercayaan kepadanya, dirinya akan melaksanakan semua program dengan penuh tanggung jawab, tentu bersama dengan semua lapisan dan golongan masyarakat. ”Tidak ada hal yang tidak bisa kita lakukan, kalau kita kompak, bersatu, bekerja sama menunaikan tugas-tugas yang ada,“ tandasnya.

Dengan kebersamaan serta melibatkan potensi masyarakat yang ada, dirinya yakin Walikota dan Wakil Walikota Semarang akan lebih mudah dalam mengemban amanat rakyatnya dengan prinsipprinsip pelayanan. Karena pada hakekatnya, pemerintah ada untuk melayani masyarakat
agar hidup damai dan sejahtera lahir dan batin. ”Oleh karena itu pimpinan yang benar adalah pemimpin yang mau melayani masyarakatnya dengan menggunakan prinsip kober ngopeni,“ tegas Bambang.***


Masyarakat Berbasis Budaya

Dirinya sependapat bahwa Kota Semarang perlu menjadi kota metropolitan yang maju secara fisik dan masyarakatnya religius. Tapi, perlu pula diingat bahwa harapan itu tidak akan terwujud
secara optimal kalau tidak ada perhatian yang lebih pada sektor budaya. Baginya, Kota Semarang harus dibangun berlandaskan budaya masyarakatnya.

Masyarakat Kota Semarang adalah masyarakat yang heterogen, terdiri dari berbagai suku, agama, golongan, dan berbagai lapisan secara demografik (sosial, ekonomi, pendidikan). Oleh karena itu, masyarakat kota ini tentu mendambakan pemimpin yang mampu mengangkat dan memberdayakan budaya-budaya yang ada.

“Kita layak belajar dari bangsa Jepang, Cina, India, yang saat ini bangkit berbasiskan kekuatan budaya lokal untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kami yakin, masyarakat Kota Semarang pun mampu bangkit dan mampu bersaing dengan kota-kota atau kabupaten-kabupaten lain di Indonesia, bahkan di dunia, kalau dibangun berbasiskan kekuatan budaya. Masyarakat Kota Semarang kaya-raya dengan budaya, dan itulah potensi yang harus dikembangkan,” ungkap Bambang.

Ketahanan budaya lokal perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat mampu menghadapi gempuran pengaruh dari luar yang belum tentu cocok dengan karakteristik masyarakat. Perlu ada keseimbangan antara modernisasi dan pengembangan budaya-budaya lokal itu, sehingga mal-mal tidak harus mematikan pasar tradisional, pembangunan jalanjalan raya tidak harus memarjinalkan pedagang kaki lima atau warung-warung tenda. Semua ini memerlukan konsep pembangunan yang komprehensif dan kepedulian pada rakyat banyak. Perlu “terobosan-terobosan baru” yang keluar dari pemikiran birokratis semata.

Bambang mencontohkan, kepemimpinan Walikota Solo Joko Widodo dan wakilnya FX Rudyanto, yang telah melakukan “terobosan-terobosan baru” semacam itu dalam menata kotanya. Dua pemimpin itu berhasil menata padagang kaki lima, membatasi pengembangan mal-mal untuk tidak mematikan pasar-pasar tradisional.

Untuk mewujudkan harapan itu, idealnya pemimpin Kota Semarang adalah pemimpin yang mampu menggerakkan masyarakatnya yang tersebar di 16 kecamatan yang terdiri dari 177 kelurahan. Pemimpin yang diharapkan, adalah pemimpin yang mampu melakukan “terobosan-terobosan” untuk memberdayakan masyarakatnya dari berbagai suku, agama, golongan, aliran politik, dari berbagai tingkatan ekonomi, sosial, dan pendidikan.

Pemimpin yang dibutuhkan kota ini adalah pemimpin yang dapat menyinergikan semua kekuatan masyarakat untuk membangun kotanya. Pemimpin yang bukan hanya mengetahui selukbeluk birokrasi pemerintahan melainkan pemimpin yang justru dekat dengan rakyat dan paham aspirasi mereka.

Karena dekat dan mengerti aspirasi rakyat, maka pemimpin yang dibutuhkan itu akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berbasis kepentingan rakyat, bukan hanya mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Intinya, pemimpin itu harus menempatkan rakyat dari semua lapisan dan tingkatan menjadi subyek (bukan obyek) pembangunan kota. Hanya dengan cara itulah, maka penanganan masalah perkotaan (misalnya
pengangguran, kemiskinan, dan infrastruktur) dapat berhasil.

“Data tahun 2009 menunjukkan angka pengangguran Kota Semarang sekitar 120.000 orang dan angka kemiskinan 486.175 jiwa atau 32,8% dari total jumlah penduduk. Ini harus digarap agar masyarakat sejahtera,” tandasnya.

Delapan Visi
Ada delapan visi dari pasangan Bambang-Kristanto (BK) yang akan diwujudkan bila terpilih sebagai Walikota Semarang, pertama, mewujudkan kepedulian masyarakat terhadap kondisi Kota Semarang di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, agama, hukum, dan keamanan.

Kedua, menyusun konsep pembangunan Kota Semarang berbasis budaya, juga, ketiga, mengembangkan koordinasi yang baik antara pemerintah, akademisi, pengusaha, tokoh agama, dan aparat keamanan, sehingga Kota Semarang menjadi kota yang kondusif bagi peningkatan pembangunan sektor sosial, budaya, politik, ekonomi, agama, dan keamanan.

Keempat, mengefektifkan koordinasi antar-Satuan Kerja Pelaksana Daerah (SKPD), dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota Semarang, kelima, melakukan reformasi birokrasi untuk meningkatkan kinerja Pemerintah Kota Semarang dalam pembangunan sektor dunia usaha, infrastruktur, dan pelayanan publik. Keenam, mengefektifkan langkah-langkah pemberantasan korupsi, bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain (KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).

Kelima, meningkatkan pelayanan terpadu Pemerintah Kota Semarang untuk mewujudkan kondisi yang kondusif bagi penanaman modal (investasi), dan keenam, mengembangkan jiwa-jiwa kewirausahaan, baik di kalangan birokrasi maupun masyarakat dalam kerangka penanganan masalah pengangguran dan kemiskinan.***


Bio Bambang

Bambang Raya Saputra, lahir di Madiun, 22 Maret 1952. Bersama keluarga tinggal di Jalan Pasir Mas Raya 3, Semarang. Menikah dengan Rr Sri Adyati dan dikaruniai empat orang putra. Alumnus Institut Manajemen & Bisnis Indonesia (IMBI) Yogyakarta (1993) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi “IEU” Yogyakarta (2005) ini sekarang masih menjadi anggota DPRD Kota Semarang, sejak tahun 2004. Mantan atlet PON VIII tahun 1972 dari KONI Jawa Tengah ini, sebelumnya pernah menjadi anggota MPR RI (1999/2004).

Mantan Wakil Ketua DPRD Kota Semarang (2004-2009) ini di organisasi kemasyarakatan pernah menjadi Ketua Harian FORKI Jawa Tengah, Ketua Bidang Organisasi INKAI Pusat, Ketua GM Kosgoro Jawa Tengah, Ketua AMPI Jawa Tengah dan Penasihat FKPPI Jawa Tengah.

Di Partai Golkar, laki-laki penghobi olahraga ini pernah menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Kota Semarang selama dua periode dan sekarang menjadi salah satu Wakil Ketua DPD Partai Golkar Jateng. Dia pernah bekerja di PT Sanggar Film dan di PT Tanah Mas. Pernah juga menjadi Direktur PT Standar Multi Guna dan Direktur CV Dwi Muda Perkasa.

Dalam pencalonannya sebagai Walikota Semarang, dirinya mengaku telah menyiapkan sejumlah program andalan yang diyakininya mampu menjadikan kota ini memiliki akselerasi untuk bersaing dengan kota-kota lain. Salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat secara maksimal untuk mendukung setiap program pembangunan. “Salah satu program prioritas kami adalah menjadikan institusi RT/ RW sebagai mitra pembangunan. Bahkan kami akan mengupayakan tersedianya anggaran untuk para ketua RT/RW,” tegas Bambang.***

Oleh: Sardi, AK. (harian semarang)

Siti Rakhma, Mary Herwati Karakter Teater

Written By Harian Semarang on Sabtu, 05 November 2011 | 08.36

TETAP gigih membela dan mendampingi rakyat tertindas, meski kini tidak lagi menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.

MASA tugas Siti Rakhma Mary Herwati atau akrab dipanggil Rakhma sebagai orang nomor satu di LBH Semarang berakhir Jumat (10/6). Tepat tiga tahun dia harus melepas jabatan yang sudah diemban sejak Juni 2008. Tapi di LBH, Rakhma telah sepuluh tahun mengabdi. Mendedikasikan hidupnya untuk kaum tertindas.
   
Bincang-bincang dengan Harsem di kantornya, LBH Semarang, kemarin berlangsung santai. Sebab, Rakhma tampak siap melepas jabatan berat yang dirasanya nikmat itu. Dan dia baru pulang dari mengikuti pelatihan advokasi selama sebulan di Negeri Kincir Angin, Belanda.

Meski begitu, siang kemarin ibu muda ini masih menerima beberapa tamu, di antaranya dari Salatiga, yang meminta dibela atau didampingi secara hukum untuk kasus sengketa tanah. Namun tak hanya soal agraria, Rakhma juga menggarap pelanggaran HAM, masyarakat desa dan kota, serta isu lingkungan. Wilayah tugasnya seluruh Jawa Tengah.

“Selepas jabatan ini saya akan menulis buku. Sekarang telah 30% saya susun naskahnya. Isinya tentang agraria. Tunggu terbitnya, ya,” ujarnya ramah saat diajang bincang-bincang Harsem di kantornya, LBH Semarang.

Lembut tapi Tegas
Siapa pun yang pernah bertemu Rakhma akan sepakat menyebut dia perempuan yang lembut. Sorot matanya sejuk, raut mukanya soft. Apalagi ditambah kacamata mungil dengan frame tipis, menambah kesan feminin dan anggun padanya.

Namun kalau sudah berbicara hukum, terlebih menyangkut pembelaan terhadap orang yang dizalimi, ibu satu anak ini akan menjadi macan yang tak kenal kompromi.

Kiprahnya cukup panjang. Idealismenya tak pernah diragukan. Jika ada orang direbut tanahnya secara sewenang-wenang, Rakhma akan tampil terdepan. Dia organisir korban dan memberdayakannya agar berani melawan. Lalu diajak menempuh jalur hukum di pengadilan. Sering pula disertai aksi demonstrasi untuk menuntut hak-hak pihak yang didampinginya.
Tentu saja Rakhma jadi “makhluk langka” karena aktivitasnya itu. Dan segala risiko telah dia terima. Dari teror ringan sampai ancaman pembunuhan. Dari intimidasi sampai somasi. Oleh pejabat resmi maupun preman bayaran kelas teri.

Lantang suaranya saat berada di depan orang yang harus dibela. Keras pernyataannya jika menyangkut hak hukum seseorang. Watak aslinya pendiam, tapi kalau sudah bicara soal HAM, anak pensiunan PNS ini tak bakal bisa didiamkan. Terus saja berkoar menuntut penegakan hukum dan pemberian sanksi kepada pelanggar HAM.

Tak hanya orang yang pernah dibela dan keluarganya yang bersimpati padanya. Orang asing pun memperhatikannya, dan memberi hadiah padanya.

Selazimnya para pembela rakyat, di dalam negeri Rakhma dimusuhi, terutama oleh penguasa zalim, tapi oleh orang luar negeri justru dihargai.

Rakhma kerap diundang lembaga mancanegara untuk menjadi peserta workshop maupun pelatihan. Berbagi pengalaman, sekaligus meraih kesempatan mengembangkan ilmu dan pengabdian. Termasuk yang terakhir di Den Haag, Mei lalu.

Pembentukan Mental
Karakter yang kuat pada diri Rakhma diperoleh dari teater. Sejak SMA hingga kuliah di Undip, perempuan berjilbab ini aktif di grup teater. Baginya, teater tak sekadar seni peran. Lebih dari itu, merupakan wadah pembentukan mental yang luar biasa.
   
“Dari teater saya terbentuk menjadi orang yang percaya diri, berani dan ulet,” ujar lulusan terbaik Magister Studi Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata ini.
   
Rakhma tercatat sebagai pendiri kelompok teater Temis Fakultas Hukum Undip tahun 1996. Grup ini sempat berjaya di masa reformasi, 1998 dan 1999. Dia kuasai seluruh produksi pementasan teater. Dari setting, tata rias, properti, sampai urusan naskah dan penyutradaraan.
   
“Teater, prosesnya panjang dan butuh kekuatan fisik. Olah vokalnya saja sampai dua bulan di tempat karantina. Setiap hari berlatih senam dan meditasi,” ungkapnya.
    
Sayang, hingga lengser dari jabatan Direktur LBH, Rakhma mengaku tak punya kader perempuan. Pernah beberapa kali dia coba rekrut aktivis mahasiswa, tak hanya dari fakultas hukum, namun satu-persatu rontok di tengah jalan.

“Bisa dibilang yang kerja di LBH itu pasti orang gila. Orang normal pasti ingin jadi PNS atau karyawan, dapat gaji dan berkumpul tiap hari dengan keluarga,” tutur Rakhma sambil tertawa. Padahal, sungguh, tak mudah membuat perempuan manis satu ini terbahak. Dia terkenal pendiam dan hemat tawa, sekalipun sekadar tersenyum jika tidak dipancing. mohammad ichwan/dnr
   
Bio Rakhma

Nama : Siti Rakhma Mary Herwati
Kelahiran : Semarang, 16 Februari 1977
Anak ke : Tujuh dari 8 bersaudara
Orangtua : Rhaiff Mudjlis Gulam-Sri Wiyati
Suami : Muhajirin SH
Anak : Nayla Safia Justin (2 tahun)
Pendidikan :
- Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata (2009)
-    Sarjana Hukum Undip (2000)
-    SMAN 2 Semarang
Aktivitas:  
- Direktur LBH Semarang (hingga 10 Juni 2011)
- Dosen Tidak Tetap  FH Unisbank Semarang
- Pengurus Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Semarang
- Kepala Program LBH Semarang (2006-2008)
- Kepala Internal LBH Semarang (2005-2006)
- Staf LBH Semarang Bagian Konflik Agraria (2002-2005)
- Relawan LBH Semarang (2000-2002)

========================

Penggusuran, pencaplokan atau perampasan sewenang-wenang terhadap tanah rakyat terus saja terjadi. Sejak zaman penjajahan hingga era reformasi. Yang mengerikan, jika rakyat melawan penindasan itu, serta merta mereka dituding komunis. Lalu KTP-nya dicap sebagai anggota PKI, dengan label ET alias eks organisasi terlarang.
    
Jika sudah ada tanda itu, maka seumur hidup hingga tujuh turunannya  kehilangan hak sosial dan politik. Tak boleh jadi PNS atau TNI/Polri, tak boleh ikut pemilu, terbatas haknya untuk sekolah dan bekerja, dan seterusnya. Bahkan mengekpresikan adatnya saja tidak boleh. Itu menimpa etnis keturunan Tionghoa.

Setelah Soeharto lengser, rakyat mulau berani menyuarakan haknya. Tanah-tanah yang pernah dicaplok tentara, kini diminta lagi. Meskipun TNI masih selalu menggunakan kekerasan, tetap saja rakyat mempertahankan hak yang diyakininya. Namun rakyat lewat jalur hukum,  bukan bedil atau preman.

Di masa pelatihan banyak yang ikut. Karena tertarik atau penasaran rasanya bergelut dengan pemberdayaan rakyat. Tapi lama-kelamaan tak kuat berada di pusara konflik soal tanah. Persidangannya saja bisa berlarut-larut dalam hitungan tahun. Sengketanya sangat sering mengundang kekerasan dan teror. Tentu secara naluri hal itu jauh dari kepribadian dan naluri normal seorang wanita. Jadi wajar kalau sulit mencari kader.

Dari langka turun ke kali

Nyuci di kali bukan cuma dilakoni gadis-gadis zaman pendekar dulu. Di Kota Semarang yang ibukota, masih banyak warga memanfaatkan sungai untuk hajat sehari-hari. Akibat (air) langka, para gadis (tak malu) turun ke kali.

”KEINDAHAN” itu tersaji saban pagi dan sore, di sepanjang aliran irigasi Kampung Plumbon Kelurahan Wonosari, Ngaliyan. Jika tak malu memicingkan mata, bisalah sedikit memandangi tubuh-tubuh perempuan basah berbalut sabun.

Memang, saluran irigasi yang melintas di RT 08 RW 03 itu menjadi pangkalan mandi yang asyik. Para ibu, sebagian gadis, asyik berbasah-basah sembari ngerumpi. Ada yang mencuci pring, nyuci baju, hingga membersihkan badan dari daki.

Dari warnanya, terlihat airnya tak jernih-jernih amat. Namun warna air kuning keputih-putihan itu tak menyurutkan hasrat. Warga tetap menggantungkan kebutuhan sehari-hari pada saluran irigasi. Sebut saja Kasmatun, warga setempat. Sore itu, dia tak sungkan mengguyur tubuhnya. “Saban pagi dan sore, anak-anak hingga dewasa mandi di sini,” ceritanya.

Nurohmad, yang tengah asyik mencuci motor, menimpali, ketergantungan warga terhadap saluran irigasi sudah sedari dulu. “Dari 76 KK di lingkup RT 08,  hampir semua melakukan cuci mandi kakus di sini. Itu sudah sedari saya kecil. Kendati saluran tidak terlalu luas, namun airnya lancar,” cerita Nurahmad.

Memang, sebagian warga sudah memiliki sumur timba. Namun terlanjur merasa mudah dan gampang, saluran irigasi tetap primadona.  “Sudah ada sumur timba, 10 milik warga dan 1 di Musholla Almuttaqin. Namun hanya untuk masak dan minum. Malahan sudah ada sumur artetis bantuan pemerintah, namun warga masih lari ke irigasi,” tuturnya.

Untuk minum dan masak, sebagian warga membeli kepada pedagang keliling. “Warga nggak mau pasang PDAM karena lebih mahal. Kalau nggak beli kelilingan, ya ambil dari sumur dan mushola,”bebernya.

Namun musim penghujan, aktivitas kali terhenti. Karena air tak lagi ramah. Dia datang membawa lumpur kotor dan pekat. Alhasil, warga pun ”terpaksa” memanfaatkan sumur artetis bantuan pemerintah.

Kebalikannya jika kemarau, aliran justru bersih. Meski kemarau panjang pun, air tak pernah asat. “Agar terus mengalir, warga merawatnya dengan kerja bakti. Satu yang tidak boleh dilakukan warga di saluran irigasi yaitu buang hajat dari atas,” ujarnya tersenyum.

Lebih Marem
Adegan”nyuci di kali” tak hanya di pinggiran. Di pusat kota pun tak jauh beda. Seperti bisa dijumpai di kawasan Lemah Gempal Kelurahan Barusari, mayoritas warga masih memanfaatkan aliran Kali Bendungan.

Saat Harsem menyusuri kampung di belakang Mapolrestabes Semarang itu sore kemarin, terpergok seorang ibu paruh baya yang menceburkan tubuhnya ke dalam air. Dengan mengenakan pakaian lengkap, tanpa risi wanita itu menggosok tubuhnya dengan sabun di aliran air berwarna kecoklatan. Sesekali ia membungkuk hingga kepalanya terendam, lalu menggosok kulit kepalanya.

Ny Subianto (56) merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan yang ”gemar” mencuci di kali Bendungan. Menurutnya, kebiasaan nyuci di kali sudah dilakukan sejak kecil. ”Orangtua saya dulu nyuci di kali, sampai sekarang saya juga masih,” jelasnya.

Perempuan bercucu empat ini merasa kalau tidak nyuci di kali rasanya kurang marem. ”Kalau di kali airnya langsung mengalir, sedangkan kalau di rumah harus masukin air ke ember terus dibuang, malah lebih capek,” jelasnya sembari tertawa.

Pihak Kelurahan Barusari sempat melarang warga nyuci di kali, namun warga tidak mengindahkan. Dia menceritakan, petugas kelurahan sempat membongkar pangkalan cuci. Sebagai gantinya, kelurahan memberi pompa air tangan. ”Saya tahu niat baik kelurahan, tapi ini sudah kebiasaan mau gimana lagi,” tuturnya.

Akhirnya warga mengumpulkan uang iuran untuk membangun kembali pangkalan cucian yang telah dibongkar. ”Pompa tangan sumbangan kelurahan  masih digunakan kalau sungai surut,” lanjutnya.

Bagi warga, mencuci di kali bisa dijadikan sarana bertukar informasi. Mirip-mirip facebook fungsinya, juma yang ini modelnya kopdar alias ”kopi darat”. ”Nyuci di sini asyik, bisa sambil ngerumpi,” imbuhnya.

Kualitas Air Turun
Di mata pakar lingkungan yang juga Rektor Undip Prof Sudharto P Hadi, tak ada yang salah dengan tradisi nyuci di kali. “Justru air kali masih alami. Pemanfaatan air kali juga akan mendorong pelestarian,” jelasnya.
Namun masalahnya, kualitas air di sejumlah sungai di Kota Semarang cenderung buruk. Sebab kesadaran masyarakat menjaga kelestarian lingkungan rendah. Agar kualitas air terjaga, masyarakat harus meningkatkan kesadaran lingkungan, utamanya dengan tidak membuang sampah di sungai.

Limbah domestik rumah tangga setidaknya menyumbang 65% dari total pencemaran. Hingga kini, masih saja ada yang berpikir sungai merupakan tempat pembuangan sampah. “Itulah yang membuat kualitas air di Semarang jelek. Pencemaran air terutama dari limbah rumah tangga,” ungkapnya.

Dia berharap ada perubahan mindset,  agar masyarakat agar tidak menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan limbah. “Kawasan Semarang bagian tengah,  timur, dan barat serta kawasan padat penduduk lainnya memberikan sumbangan pencemaran yang luar biasa,” jelasnya prihatin.

Pemkot juga diminta melakukan pemantauan terhadap sejumlah kawasan industri. Sebab, kerapkali sungai dijadikan tempat favorit pembuangan limbah. “Jumlah pencemarannya memang tak sebanyak akibat limbah rumah tangga karena beberapa industri sudah memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Namun, kadar racunnya bisa dibilang mematikan,” katanya.

Kondisi inilah yang menjadikan air tanah di Semarang bawah berkualitas buruk. Sungai-sungai yang ada, selain berwarna coklat juga berbau tak sedap.

Berdasarkan penelitian Dosen Magister Kesehatan Lingkungan Undip Mursid Raharjo pada tahun lalu, ditemukan air sungai dari Kali Semarang dan sekitarnya dipenuhi bakteri e-coli. Pe rmililiter sampel air, mengandung 1.000–1.200 bakteri. Alhasil, sebenarnya air sungai di Semarang berbahaya bagi kesehatan.

“Ambang batas yang diperbolehkan adalah 100 e-coli per 50 mililiter air. Penyebaran pencemaran sudah melebar hingga 50 meter di kanan dan kiri sisi badan sungai. Dampak penyakit yang bisa ditimbulkan di antaranya diare hingga liver, pencernaan, disentri atau kolera,” ungkapnya.

Walikota Semarang Soemarmo HS meminta masyarakat lebih peduli. Antara lain dengan tidak membuang sampah di sungai. Upaya Pemkot antara lain melalui program resik-resik kali.

“Kota ini tempat tinggal kita, kalau bukan kita yang ngopeni siapa lagi. Mari bersama-sama menjaga lingkungan. Kita tumbuhkan budaya malu buang sampah sembarangan,” tandasnya.

Yuk, kita jaga kebersihan kali. Agar keindahan gadis-gadis mandi di kali tetap lestari. Lissa Febrina/Prihati Puji Utami/Nji

Intan Avantie, Garasi Hati

Hati menjadi kata kunci bagi desainer muda yang memulai berkarya dari garasi ini. Terutama dalam berinteraksi, bagi kehidupan dan karirnya selama ini.

ENAM tahun sudah perjalanan karir Intan Avantie di jagat rancang busana. Tak sedikit karya yang dihasilkannya. Sejumlah selebritas sohor pun telah mengenakan buah rancangannya. Sebutlah nama Gita Gutawa, Bunga Citra Lestari, Dewi Gita, Lea Simanjuntak, Rossa, Nadine Chandrawinata, Artika Sari Dewi, dan Sherina.

Dan yang paling menarik, sejak 2006 hingga sekarang, kebaya yang dikenakan Puteri Indonesia senantiasa busana hasil rancangannya. “Setidaknya dari 10 besar atau 5 besar, saya yang merancang kebaya mereka. Itu sudah saya lakukan sejak lima tahun lalu,” ujar putri perancang kenamaan Anne Avantie ini. 

Rancangan Intan, memang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki desainer lain. Dengan mengambil ide dari alam sekitar, Intan mengembangkan kreasinya yang biasa disebut kebaya kontemporer.

“Sebagai ciri khas, saya mengandalkan proses colouring (pewarnaan). Jadi kain yang saya gunakan semuanya putih, untuk selanjutnya saya beri warna sendiri. Sehingga, banyak yang jadi terkesan karena warna kebaya rancangan saya tidak ada di mana pun,” ungkap pemilik nama lengkap Eufrasya Citra Intan Avantie ini.

Selain colouring, Intan juga mengandalkan detil, penggunaan payet, serta ukiran untuk memperkuat rancangannya. Untuk pemilihan bahan, beberapa jenis bahan diimpor dari luar negeri. Misalnya untuk brokat didatangkan dari Perancis. Sedangkan untuk beads atau manik-manik, dipilih produksi Taiwan.

“Brokat asal Perancis sangat bagus, karena bisa melekat ke tubuh dengan sangat baik. Ketika dikenakan akan jadi seperti second skin,” lanjutnya.

Intan membutuhkan waktu rata-rata dua bulan untuk menyelesaikan satu buah kebaya. “Tapi kalau ada yang butuh segera, minta waktu satu minggu pun dijabanin,” ujarnya, mantap.

Sejak Kecil
Tidak semua keberhasilan bermula dari sesuatu yang besar dan mewah. Justru tidak jarang, kesuksesan diawali dari hal sepele dan mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya.   

Intan mengaku sudah sejak kecil senang dengan tata busana, khususnya kebaya. Menjahit dan meronce, serta sesekali corat-coret rancangan busana sudah mulai dilakukannya sejak kelas V SD. Meski waktu itu baru untuk kesenangan saja.

”Saya mulai serius menekuni bidang ini sejak SMA. Waktu itu meski belum memiliki usaha sendiri, saya sudah mengerjakan rancangan busana. Pesanan kali pertama saya terima adalah kebaya untuk wisuda,” tutur Intan.

Dengan telaten, Intan mengerjakan sendiri rancangannya selama lebih kurang sebulan. Karya perdananya tersebut dihargai Rp 150 ribu. Nilai yang membuat kebahagiaannya membuncah.

Selepas kuliah, Intan memberanikan diri membuka usaha. Namun karena sudah tak ada lagi ruang di rumahnya yang memenuhi syarat, terpaksa dia menggunakan garasi sebagai kantor.

“Dengan sedikit merenovasi garasi, akhirnya jadilah kantor saya. Karena sudah tak mampu bekerja sendiri, saya mempekerjakan seorang karyawan. Kantor garasi saya di rumah yang lama bertahan selama tiga tahun, hingga akhirnya pindah rumah,” terangnya.

Tanpa dinyana, di rumah yang baru pun Intan ”kehabisan” ruangan untuk kantor. Sekali lagi, garasi kembali menjadi sasaran. Dengan sedikit sentuhan artistik, Intan berhasil menyulap garasi rumah ini menjadi kantor yang cukup representatif.

“Kita mulai saja dengan apa yang ada. Karena adanya garasi, ya tempat itulah yang saya optimalkan. Ibu pun tidak pernah protes ataupun memberi masukan. Saya diajarkan untuk mengoptimalkan apa pun yang telah saya miliki,” beber Intan.

Optimaliasi juga diwujudkan sebagai cara unik untuk meminimalkan konflik, baik dengan pelanggan maupun dengan karyawan. Kepada masing-masing karyawan diberikan sebuah diary atau buku harian pribadi.

“Kita sebagai manusia memiliki kelemahan yang mendasar, yaitu lupa. Maka untuk meminimalkan masalah, baik dengan pelanggan maupun karyawan, termasuk dengan saya sendiri, saya gunakan diary tersebut,” cetus Intan yang kini menaungi 40 karyawan di butiknya.

Selain itu, demi memelihara kenyamanan kerja, Intan mengaku sangat memperhatikan masalah kesejahteraan. “Kesejahteraan bagi karyawan merupakan hal utama. Tapi saya juga memberikan reward and punishment. Biar ada disiplin di situ. Intinya, karyawan saya minta bekerja dengan hati. Tujuannya tak lain untuk lebih mengoptimalkan kerja, selain untuk terciptanya suasana kerja yang kondusif,” paparnya. nur hidayat/dnr

BioIntan
Nama : Intan Avantie   
Nama Lengkap : Eufrasya Citra Intan Avantie
Panggilan : Intan
Kelahiran : Surakarta, 17 November
Anak ke : Sulung dari 3 bersaudara
Orangtua : Yoseph Henry Susilo-Anne Avantie
Suami : Carolus Christinus
Anak:
1. Matthew Archiello Keenant Wijasena
2. Arkayrra Keinant A
Butik : Inav by Intan Avantie
Alamat  : Jl Indraprasta 97, Semarang
Prestasi :
- Juara I Lomba Rancang Kebaya Modifikasi (Majalah Perkawinan) 2001
- Beasiswa Gading Young Designer Award 2004

Gagas

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HARIAN SEMARANG - Gagas - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger