Home » , » Siti Rakhma, Mary Herwati Karakter Teater

Siti Rakhma, Mary Herwati Karakter Teater

Written By Harian Semarang on Sabtu, 05 November 2011 | 08.36

TETAP gigih membela dan mendampingi rakyat tertindas, meski kini tidak lagi menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.

MASA tugas Siti Rakhma Mary Herwati atau akrab dipanggil Rakhma sebagai orang nomor satu di LBH Semarang berakhir Jumat (10/6). Tepat tiga tahun dia harus melepas jabatan yang sudah diemban sejak Juni 2008. Tapi di LBH, Rakhma telah sepuluh tahun mengabdi. Mendedikasikan hidupnya untuk kaum tertindas.
   
Bincang-bincang dengan Harsem di kantornya, LBH Semarang, kemarin berlangsung santai. Sebab, Rakhma tampak siap melepas jabatan berat yang dirasanya nikmat itu. Dan dia baru pulang dari mengikuti pelatihan advokasi selama sebulan di Negeri Kincir Angin, Belanda.

Meski begitu, siang kemarin ibu muda ini masih menerima beberapa tamu, di antaranya dari Salatiga, yang meminta dibela atau didampingi secara hukum untuk kasus sengketa tanah. Namun tak hanya soal agraria, Rakhma juga menggarap pelanggaran HAM, masyarakat desa dan kota, serta isu lingkungan. Wilayah tugasnya seluruh Jawa Tengah.

“Selepas jabatan ini saya akan menulis buku. Sekarang telah 30% saya susun naskahnya. Isinya tentang agraria. Tunggu terbitnya, ya,” ujarnya ramah saat diajang bincang-bincang Harsem di kantornya, LBH Semarang.

Lembut tapi Tegas
Siapa pun yang pernah bertemu Rakhma akan sepakat menyebut dia perempuan yang lembut. Sorot matanya sejuk, raut mukanya soft. Apalagi ditambah kacamata mungil dengan frame tipis, menambah kesan feminin dan anggun padanya.

Namun kalau sudah berbicara hukum, terlebih menyangkut pembelaan terhadap orang yang dizalimi, ibu satu anak ini akan menjadi macan yang tak kenal kompromi.

Kiprahnya cukup panjang. Idealismenya tak pernah diragukan. Jika ada orang direbut tanahnya secara sewenang-wenang, Rakhma akan tampil terdepan. Dia organisir korban dan memberdayakannya agar berani melawan. Lalu diajak menempuh jalur hukum di pengadilan. Sering pula disertai aksi demonstrasi untuk menuntut hak-hak pihak yang didampinginya.
Tentu saja Rakhma jadi “makhluk langka” karena aktivitasnya itu. Dan segala risiko telah dia terima. Dari teror ringan sampai ancaman pembunuhan. Dari intimidasi sampai somasi. Oleh pejabat resmi maupun preman bayaran kelas teri.

Lantang suaranya saat berada di depan orang yang harus dibela. Keras pernyataannya jika menyangkut hak hukum seseorang. Watak aslinya pendiam, tapi kalau sudah bicara soal HAM, anak pensiunan PNS ini tak bakal bisa didiamkan. Terus saja berkoar menuntut penegakan hukum dan pemberian sanksi kepada pelanggar HAM.

Tak hanya orang yang pernah dibela dan keluarganya yang bersimpati padanya. Orang asing pun memperhatikannya, dan memberi hadiah padanya.

Selazimnya para pembela rakyat, di dalam negeri Rakhma dimusuhi, terutama oleh penguasa zalim, tapi oleh orang luar negeri justru dihargai.

Rakhma kerap diundang lembaga mancanegara untuk menjadi peserta workshop maupun pelatihan. Berbagi pengalaman, sekaligus meraih kesempatan mengembangkan ilmu dan pengabdian. Termasuk yang terakhir di Den Haag, Mei lalu.

Pembentukan Mental
Karakter yang kuat pada diri Rakhma diperoleh dari teater. Sejak SMA hingga kuliah di Undip, perempuan berjilbab ini aktif di grup teater. Baginya, teater tak sekadar seni peran. Lebih dari itu, merupakan wadah pembentukan mental yang luar biasa.
   
“Dari teater saya terbentuk menjadi orang yang percaya diri, berani dan ulet,” ujar lulusan terbaik Magister Studi Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata ini.
   
Rakhma tercatat sebagai pendiri kelompok teater Temis Fakultas Hukum Undip tahun 1996. Grup ini sempat berjaya di masa reformasi, 1998 dan 1999. Dia kuasai seluruh produksi pementasan teater. Dari setting, tata rias, properti, sampai urusan naskah dan penyutradaraan.
   
“Teater, prosesnya panjang dan butuh kekuatan fisik. Olah vokalnya saja sampai dua bulan di tempat karantina. Setiap hari berlatih senam dan meditasi,” ungkapnya.
    
Sayang, hingga lengser dari jabatan Direktur LBH, Rakhma mengaku tak punya kader perempuan. Pernah beberapa kali dia coba rekrut aktivis mahasiswa, tak hanya dari fakultas hukum, namun satu-persatu rontok di tengah jalan.

“Bisa dibilang yang kerja di LBH itu pasti orang gila. Orang normal pasti ingin jadi PNS atau karyawan, dapat gaji dan berkumpul tiap hari dengan keluarga,” tutur Rakhma sambil tertawa. Padahal, sungguh, tak mudah membuat perempuan manis satu ini terbahak. Dia terkenal pendiam dan hemat tawa, sekalipun sekadar tersenyum jika tidak dipancing. mohammad ichwan/dnr
   
Bio Rakhma

Nama : Siti Rakhma Mary Herwati
Kelahiran : Semarang, 16 Februari 1977
Anak ke : Tujuh dari 8 bersaudara
Orangtua : Rhaiff Mudjlis Gulam-Sri Wiyati
Suami : Muhajirin SH
Anak : Nayla Safia Justin (2 tahun)
Pendidikan :
- Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata (2009)
-    Sarjana Hukum Undip (2000)
-    SMAN 2 Semarang
Aktivitas:  
- Direktur LBH Semarang (hingga 10 Juni 2011)
- Dosen Tidak Tetap  FH Unisbank Semarang
- Pengurus Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Semarang
- Kepala Program LBH Semarang (2006-2008)
- Kepala Internal LBH Semarang (2005-2006)
- Staf LBH Semarang Bagian Konflik Agraria (2002-2005)
- Relawan LBH Semarang (2000-2002)

========================

Penggusuran, pencaplokan atau perampasan sewenang-wenang terhadap tanah rakyat terus saja terjadi. Sejak zaman penjajahan hingga era reformasi. Yang mengerikan, jika rakyat melawan penindasan itu, serta merta mereka dituding komunis. Lalu KTP-nya dicap sebagai anggota PKI, dengan label ET alias eks organisasi terlarang.
    
Jika sudah ada tanda itu, maka seumur hidup hingga tujuh turunannya  kehilangan hak sosial dan politik. Tak boleh jadi PNS atau TNI/Polri, tak boleh ikut pemilu, terbatas haknya untuk sekolah dan bekerja, dan seterusnya. Bahkan mengekpresikan adatnya saja tidak boleh. Itu menimpa etnis keturunan Tionghoa.

Setelah Soeharto lengser, rakyat mulau berani menyuarakan haknya. Tanah-tanah yang pernah dicaplok tentara, kini diminta lagi. Meskipun TNI masih selalu menggunakan kekerasan, tetap saja rakyat mempertahankan hak yang diyakininya. Namun rakyat lewat jalur hukum,  bukan bedil atau preman.

Di masa pelatihan banyak yang ikut. Karena tertarik atau penasaran rasanya bergelut dengan pemberdayaan rakyat. Tapi lama-kelamaan tak kuat berada di pusara konflik soal tanah. Persidangannya saja bisa berlarut-larut dalam hitungan tahun. Sengketanya sangat sering mengundang kekerasan dan teror. Tentu secara naluri hal itu jauh dari kepribadian dan naluri normal seorang wanita. Jadi wajar kalau sulit mencari kader.

Share this article :

+ komentar + 1 komentar

10 Oktober 2019 pukul 15.48

Panutanque

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HARIAN SEMARANG - Gagas - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger