SEMARANG HARUS BERUBAH Menuju Kota Mandiri 2015
SEMARANG HARUS BERUBAH!! Kalimat itu terkesan sederhana, tetapi secara harfiah mengandung makna yang sangat dalam. Dan itulah paradigma paten sekaligus cita-cita yang ingin diwujudkan Harini Krisniati, Calon Walikota Semarang 2010-2015. Apakah kondisi Kota Semarang belum seperti harapan banyak orang? “Semarang bisa jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Saya jamin!” kata Harini, satu-satunya wanita yang bertengger sebagai calon walikota
DENGAN pengalamannya sebagai birokrat yang meniti karir dari bawah, serta dukungan masyarakat heterogen Kota Semarang, Harini yakin apa yang menjadi keinginannya mengubah Kota Atlas menjadi Kota Mandiri ini akan dapat terwujud. Syaratnya, Harini harus terpilih dulu sebagai Walikota Semarang periode 2010-1015. Bersama pasangannya, Ari Purbono, Harini pun yakin, dengan ridho Tuhan YME dan dukungan penuh masyarakat, niat tulusnya untuk memimpin Kota Lunpia bakal terwujud.
Untuk menuju pilar perubahan itu, menurut mantan Plt Sekda Kota Semarang ini, sebenarnya tidak sulit. “Semarang punya banyak potensi. Sayangnya selama ini tidak digarap secara serius. Pemimpin hanya berkutat pada permasalahan yang tampak di permukaan saja, sementara permasalahan lain yang lebih urgen justru terabaikan. Dampaknya, Semarang tak pernah berubah,” katanya.
Ya, Semarang dari dulu tak pernah berubah. Banjir dan rob tetap menjadi persoalan rutin yang tak pernah teratasi. Jumlah rakyat miskin tetap berlimpah, jaminan kesehatan dan pendidikan belum merata, dan jumlah pengangguran terus bertambah. Di sisi lain, lapangan pekerjaan sangat sulit. Sungguh menyedihkan! Sementara kalangan birokrat yang seharusnya melayani masyarakat justru terkesima dengan nikmatnya kursi jabatan. Kepentingan masyarakat terabaikan, sementara kepentingan pribadi menjadi kenikmatan yang meninabobokan.
Pelayanan tata ruang publik yang amburadul dan bertele-tele, misalnya, menjadikan calon investor gerah untuk berinvestasi. Pelanggaran pun muncul. Banyak proyek bangunan yang terus tumbuh dengan mangabaikan persyaratan pokok berupa perizinan. Coba bayangkan, seandainya persoalan ini bisa teratasi, berapa jumlah pendapatan asli daerah (PAD) yang bisa didapat.
Sebaliknya, karena pelayanan yang amburadul tadi, berapa jumlah uang yang hilang? Tentu saja fantastis. “Kalau saya jadi pemimpin, untuk sekadar membuat perizinan hanya butuh waktu 21 hari. Pemberian izin yang terlalu lama menjadikan investor malas berbisnis di Semarang. Pelayanan untuk itu harus diubah. Saya jamin,’’ tukasnya mantap.
Persoalan-persoalan pelik di depan mata itulah yang membuat Harini tergugah untuk bisa cawe-cawe merombaknya, mengubahnya, dan mewujudkannya menuju Kota Semarang sebagai Kota Mandiri yang dirindukan setiap individu warganya . Dia punya prinsip, ada masalah tentu ada pula cara pemecahannya. Toh, sekali lagi, Kota Semarang punya potensi untuk maju, berubah, dan akhirnya benar-benar mandiri.
Sebagai Ibukota Provinsi dengan luas wilayah 373,63 km yang berada pada lintas jalur jalan utara Pulau Jawa yang menghubungkan Kota Surabaya dan Jakarta, Kota Semarang memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi kawasan perkantoran, pemukiman, perdagangan, industri, pendidikan, dan lain-lain. Semarang punya Pelabuhan Tanjung Emas, Bandara Ahmad Yani yang bertaraf internansional, dua Stasiun Kereta Api Tawang dan Poncol, serta Terminal Terboyo dan Mangkang yang megah. Sayangnya, fasilitas perhubungan itu kondisinya memrihatinkan. Rutinitas perbaikan dan perombakan sering tanpa memikirkan kepentingan jauh ke depan.
Potensi-potensi luar biasa itu masih lagi terselimuti persoalan rumit seperti urbanisasi (masyarakat miskin perkotaan 136.000 KK per 25% dari jumlah penduduk yang mencapai 1.500.000 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,4%). Persoalan lain adalah pengangguran (107.333 orang), penyandang masalah sosial: anak jalanan (966 orang), pengemis/waria (500 orang lebih), belum lagi jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang jumlahnya hampir mencapai ribuan orang.
Masih ada lagi masalah transportasi: angkutan kota kurang lebih 2.000 unit, mobil pribadi sekitar 30 ribu, sepeda motor sekitar 200 ribu, dan bus kira-kira 700 unit. Di sisi lain masih maraknya pelanggaran tata ruang, dan satu lagi masalah klise adalah belum teratasinya banjir dan rob.
Visi Misi
Menuju Kota Mandiri 2015 memang sudah menjadi visi ke depan pasangan Harini-Ari Purbono. Untuk mewujudkannya, pasangan ini menjabarkannya lewat misi yang mengedepankan keharusan perubahan Kota Semarang. Yakni: Pertama, Menjadikan entrepreneur Government dalam rangka reformasi birokrasi. Kedua, Mengedepankan fungsi pemerintah sebagai motivator, regulator, dan fasilitator dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Ketiga, Mengoptimalkan petensi daerah guna mempercepat kemandirian daerah dan pemerataan pembangunan.
Keempat, Meningkatkan pertumbuhan investasi dan pendapatan daerah dengan regulasi perizinan. Kelima, Mengintegrasikan dan menyinergikan programprogram penanggulangan kemiskinan. Keenam, Revitalisasi ekonomi kerakyatan berbabsis koperasi. Ketujuh, Mewariskan mental kejuangan dan spirit kepahlawanan kepada masyarakat. Kedelapan, Memperluas pembangunan infrastuktur dengan membuka akses simpul-simpul ekonomi untuk mempermudah pembangunan di semua sektor. Kesembilan, menuntaskan persoalan-persoalan pokok di Kota Semarang.
Prioritas Pembangunan
Dari paparan visi misi di atas tergambar, betapa peliknya problematika Kota Semarang. Dan untuk membenahinya butuh pemimpin yang punya naluri, kemauan, kemampuan, dan kepedulian luar biasa. Itu ada pada sosok Harini. Figur perempuan yang dikenal pekerja keras dan disiplin.
Sebagai pengejawantahan programnya, Harini sudah membuat skala prioritas bidang-bidang pembangunan Dra Hj Harini Krisniati MM, Calon Walikota Semarang SEMARANG HARUS BERUBAH Menuju Kota Mandiri 2015 SEMARANG HARUS BERUBAH!! Kalimat itu terkesan sederhana, tetapi secara harfiah mengandung makna yang sangat dalam. Dan itulah paradigma paten sekaligus cita-cita yang ingin diwujudkan Harini Krisniati, Calon Walikota Semarang 2010-2015. Apakah kondisi Kota Semarang belum seperti harapan banyak orang? “Semarang bisa jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Saya jamin!” kata Harini, satu-satunya wanita yang bertengger sebagai calon walikota.
yang harus segera dilakukan, yaitu:
1. Penguatan ekonomi masyarakat, yang meliputi:
a. Rehab/pembangunan pasar tradisional (47 buah)
b. Bantuan dana bergulir dengan system tanggung renteng (Rp
20 miliar per tahun)
c. Penguatan institusi local ekonomi dengan sistem koperasi.
2. Peningkatan pelayanan publik, meliputi:
a. Regulasi perizinan
b. Pemberian intensif
c. Optimalisiasi One Stop Service (OSS)
3. Peningkatan infrastruktur kota:
a. Pembangunan ring road luar, untuk membuka simpulsimpul
ekonomi baru
b. Akses jalan ke Pelabuhan Tanjung Emas.
4. Peningkatan SDM (Pendidikan dan Kesehatan):
a. Enterpreneur Government di dalam birokrasi.
b. Pemetaan SDM sesuai minat dan bakat.
c. Pemanfaatan data base penduduk miskin untuk layanan kesehatan gratis
d. Wajib pendidikan 12 tahun.
5. Penanganan lingkungan hidup, meliputi:
a. Penanganan rob dan banjir selesai tahun 2013, dengan luas 800 hektar dan biaya Rp 1,7 triliun (pembangunan Waduk Jatibarang, Banjirkanal Barat, drainase Semarang Tengah).
b. Layanan pengangkutan sampah 80% dari produksi sampah per hari untuk 150 kelurahan.
6. Pengenalan seni dan budaya melalui keluarga, dimulai dari usia prasekolah.
7. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak:
Peningkatan pendapatan keluarga sejahtera/PPKS,KDRI, Posyandu, pola asuh anak, PKK, penanganan penyandang masalah sosial.
8. Investasi optimalisasi zona industri, regulasi perizinan, lapangan kerja.
9. Kepemudaan dan olahraga, yakni pembangunan fasilitas pemuda dan olahraga terpadu.
10. Pariwisata (Kebun Binatan Wonosari & jaringan wisata)
11. Perdagangan & industri (sinergisitas antara pelaku usaha dan pemerintah)
12. Potensi laut dan agro (pembuatan pabrik pengolahan ikan, pengembangan varitas buah unggul.
13. Tranportasi:
a. Manajemen transportasi missal dengan menambah 10 koridor BRT di bawah badan layanan umum dengan melibatkan seluruh pelaku transportasi dan memberlakukan tariff murah untuk pelajar/mahasiswa, dan buruh/pekekrja dengan subsidi APBD.
b. Pembangunan fly over di berbagai titik jalan yang menimbulkan kemacetan.
14. Air bersih: Membatasi perizinan pengambilan air bawah tanah dan optimalisasi manajemen air bersih dengan mencari sumbersumber baru, pembaharuan jaringan perpipaan, dan efisiensi di semua bidang.***
Ingin Jadi Pemimpin, Bukan Penguasa!
APA beda pemimpin dan penguasa? Jika pertanyaan itu ditujukan pada masyarakat awam, tentu tak akan muncul jawaban spesifik. Sebab dua kata itu secara harfiah menunjukkan sosok seseorang yang bisa berbuat segalanya sesuai dengan jabatannya. Tata cara bertindaknya pun bisa sesuai aturan, bisa pula melanggar, tergantung niat sang pemangku jabatan tadi. Begitu tipis perbedaan di dalamnya. Tetapi di mata Harini Krisniati, satu-satunya sosok wanita yang mencalonkan diri sebagai Walikota Semarang periode 2010-2015, pemimpin dan penguasa tentu berbeda. Sama-sama punya kedudukan, wibawa, dan keistimewaan, tetapi keduanya bisa punya nilai berbeda di hati masyarakat, atau komunitas yang menjadi bawahannya.
Lalu antara keduanya, mana yang cocok dan diharapkan oleh Harini? “Saya ingin jadi pemimpin,
bukan penguasa,’’ tegasnya.
Tentu hal itu ada hubungannya dengan pencalonannya sebagai walikota. Sekadar catatan, semua calon yang ada seluruhnya diusung oleh kekuatan partai politik. Tanpa “kendaraan” parpol, sepertinya memang mustahil seseorang bisa maju sebagai balon walikota. Dan sekarang terbukti, untuk Pilwalkot Semarang 18 April mendatang, tidak ada satu pun calon perseorangan. Yakni calon yang maju tanpa diusung partai politik.
Bukan berarti Harini antipati dengan kekuatan massa parpol. Sebab dari organisasi inilah kekuatan massa bisa digalang. Harini pun memutuskan niatnya menjadi cawalkot dengan berangkat dari sebuah koalisi partai.
Namun sebagai antisipasi jika nanti mendapat amanat rakyat untuk menjadi Walikota Semarang, Harini tidak ingin disebut sebagai penguasa. “Saya lebih sreg dengan sebutan pemimpin,’’ katanya mantap. Menurut ibu dua anak itu, karena calon walikota diusung oleh kekuatan parpol, biasanya ketika sudah menjabat walikota, sosoknya berubah menjadi sosok penguasa. Masyarakat menjadi komoditas politik, sementara program-program yang dicanangkan hanya menimbulkan ketidakpastian di kalangan masyarakat. Sosok penguasa selalu bersandar pada organisasi politik yang pernah mengusungnya.
Ketika ada kritik atas tindakannya yang menyimpang, parpol pengusung membela mati-matian. Tidak jarang penguasa berlindung di balik nama besar partai, sementara program pembangunan yang pernah digembor-gemborkan di panggung kampanye hanya menjadi catatan yang anehnya –selalu-- bisa dipertanggungjawabkan. Ironis, memang. Tapi itulah sosok penguasa.
Lain halnya dengan sosok pemimpin, seperti yang diidam-idamkan Harini. Ia tetap menyadari sebagai bagian dari kekuatan parpol, terutama parpol yang mengusungnya. Tetapi ketika sudah didapuk menjadi seorang pemimpin, ia tidak akan mengorbankan masyarakat sebagai komoditas politik. “Masyarakat harus menjadi obyek pembangunan, bukan subyek,’’ katanya.
Satu hal lagi, figur pemimpin secara otomatis akan menyadari dirinya sebagai motivator penggerak, punya kreativitas, inovatif, dan bekerja atas nama kepentingan rakyat. Tidak ada alasan politis dalam menjalankan kepemimpinan, meski kekuatan parpol senantiasa dijadikan partner atau mitra dalam menggali informasi soal kebutuhan sekaligus keluhan masyarakat.
Pengalaman segudang sebagai birokrat, bisa menjadi modal bagi Harini. Seringnya turun ke bawah mendengar aspirasi masyarakat, juga menjadi pemacu untuk mengubah Kota Semarang yang sarat dengan problematika. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan sempitnya lapangan kerja, harus dicarikan jalan keluar sesegera mungkin. Lima tahun memimpin telah diperhitungkan matang bagaimana mengelola Semarang menjadi lebih baik, sehingga kepercayaan mamsyarakat terhadap pemimpinnya benar-benar bukan kamuflase. Dan itulah sebenarnya jatidiri seorang pemimpin, bukan penguasa.***
Bio Harini
HARINI KRISNIATI lahir di Magelang 25 Desember 1957. Di kota itu pula ia menempuh jenjang pendidikan SD dan SMP, sebelum akhirnya pindah di Semarang dan meneruskan ke jenjang SMA serta Fisip Undip (1982). Sedang S2-nya (Magister Management) ia tempuh di UII Yogyakarta tahun 2000.
Dari pernikahannya dengan Ir Indra Trisnadi dikaruniai dua anak, Dina Harindra Trisnani yang disunting Kapten (Mar) Achmad Yulianto, dan Oscara Trisnanda. Sebagai abdi masyarakat di jajaran Pemkot Semarang, berbagai jabatan penting pernah ia emban, yakni sebagai Kabag Humas, Kabag Pemerintahan/Ka Satpol PP, Kabag Organisasi, Kepala Dinas Koperasi di UKM, Kepala BKPM PB & A, Kepala Dinas Sosial Pemuda dan Olahraga, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Plt Sekda Kota Semarang.
Di sela-sela kesibukannya sebagai PNS, Harini juga masih disibukkan dengan berbagai jabatan di organisasi. Ia pernah aktif di GMNI, pernah pula menjabat Sekretaris Korpri Kota Semarang, Ketua Departement Wanita FKDPI Jawa Tengah, Wakil Ketua Alumni Undip, Ketua Yayasan Abdi Masyarakat, Ketua Umum Persani Kota Semarang, dan Ketua Kwarcab Pramuka Kota Semarang.
Dari berbagai pengabdian itu, Harini menerima beberapa penghargaan, antara lain Satya Lencana Presiden RI Tahun 2007, dan Smart Woman Tahun 2008.***
SEMARANG HARUS BERUBAH!! Kalimat itu terkesan sederhana, tetapi secara harfiah mengandung makna yang sangat dalam. Dan itulah paradigma paten sekaligus cita-cita yang ingin diwujudkan Harini Krisniati, Calon Walikota Semarang 2010-2015. Apakah kondisi Kota Semarang belum seperti harapan banyak orang? “Semarang bisa jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Saya jamin!” kata Harini, satu-satunya wanita yang bertengger sebagai calon walikota
DENGAN pengalamannya sebagai birokrat yang meniti karir dari bawah, serta dukungan masyarakat heterogen Kota Semarang, Harini yakin apa yang menjadi keinginannya mengubah Kota Atlas menjadi Kota Mandiri ini akan dapat terwujud. Syaratnya, Harini harus terpilih dulu sebagai Walikota Semarang periode 2010-1015. Bersama pasangannya, Ari Purbono, Harini pun yakin, dengan ridho Tuhan YME dan dukungan penuh masyarakat, niat tulusnya untuk memimpin Kota Lunpia bakal terwujud.
Untuk menuju pilar perubahan itu, menurut mantan Plt Sekda Kota Semarang ini, sebenarnya tidak sulit. “Semarang punya banyak potensi. Sayangnya selama ini tidak digarap secara serius. Pemimpin hanya berkutat pada permasalahan yang tampak di permukaan saja, sementara permasalahan lain yang lebih urgen justru terabaikan. Dampaknya, Semarang tak pernah berubah,” katanya.
Ya, Semarang dari dulu tak pernah berubah. Banjir dan rob tetap menjadi persoalan rutin yang tak pernah teratasi. Jumlah rakyat miskin tetap berlimpah, jaminan kesehatan dan pendidikan belum merata, dan jumlah pengangguran terus bertambah. Di sisi lain, lapangan pekerjaan sangat sulit. Sungguh menyedihkan! Sementara kalangan birokrat yang seharusnya melayani masyarakat justru terkesima dengan nikmatnya kursi jabatan. Kepentingan masyarakat terabaikan, sementara kepentingan pribadi menjadi kenikmatan yang meninabobokan.
Pelayanan tata ruang publik yang amburadul dan bertele-tele, misalnya, menjadikan calon investor gerah untuk berinvestasi. Pelanggaran pun muncul. Banyak proyek bangunan yang terus tumbuh dengan mangabaikan persyaratan pokok berupa perizinan. Coba bayangkan, seandainya persoalan ini bisa teratasi, berapa jumlah pendapatan asli daerah (PAD) yang bisa didapat.
Sebaliknya, karena pelayanan yang amburadul tadi, berapa jumlah uang yang hilang? Tentu saja fantastis. “Kalau saya jadi pemimpin, untuk sekadar membuat perizinan hanya butuh waktu 21 hari. Pemberian izin yang terlalu lama menjadikan investor malas berbisnis di Semarang. Pelayanan untuk itu harus diubah. Saya jamin,’’ tukasnya mantap.
Persoalan-persoalan pelik di depan mata itulah yang membuat Harini tergugah untuk bisa cawe-cawe merombaknya, mengubahnya, dan mewujudkannya menuju Kota Semarang sebagai Kota Mandiri yang dirindukan setiap individu warganya . Dia punya prinsip, ada masalah tentu ada pula cara pemecahannya. Toh, sekali lagi, Kota Semarang punya potensi untuk maju, berubah, dan akhirnya benar-benar mandiri.
Sebagai Ibukota Provinsi dengan luas wilayah 373,63 km yang berada pada lintas jalur jalan utara Pulau Jawa yang menghubungkan Kota Surabaya dan Jakarta, Kota Semarang memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi kawasan perkantoran, pemukiman, perdagangan, industri, pendidikan, dan lain-lain. Semarang punya Pelabuhan Tanjung Emas, Bandara Ahmad Yani yang bertaraf internansional, dua Stasiun Kereta Api Tawang dan Poncol, serta Terminal Terboyo dan Mangkang yang megah. Sayangnya, fasilitas perhubungan itu kondisinya memrihatinkan. Rutinitas perbaikan dan perombakan sering tanpa memikirkan kepentingan jauh ke depan.
Potensi-potensi luar biasa itu masih lagi terselimuti persoalan rumit seperti urbanisasi (masyarakat miskin perkotaan 136.000 KK per 25% dari jumlah penduduk yang mencapai 1.500.000 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,4%). Persoalan lain adalah pengangguran (107.333 orang), penyandang masalah sosial: anak jalanan (966 orang), pengemis/waria (500 orang lebih), belum lagi jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang jumlahnya hampir mencapai ribuan orang.
Masih ada lagi masalah transportasi: angkutan kota kurang lebih 2.000 unit, mobil pribadi sekitar 30 ribu, sepeda motor sekitar 200 ribu, dan bus kira-kira 700 unit. Di sisi lain masih maraknya pelanggaran tata ruang, dan satu lagi masalah klise adalah belum teratasinya banjir dan rob.
Visi Misi
Menuju Kota Mandiri 2015 memang sudah menjadi visi ke depan pasangan Harini-Ari Purbono. Untuk mewujudkannya, pasangan ini menjabarkannya lewat misi yang mengedepankan keharusan perubahan Kota Semarang. Yakni: Pertama, Menjadikan entrepreneur Government dalam rangka reformasi birokrasi. Kedua, Mengedepankan fungsi pemerintah sebagai motivator, regulator, dan fasilitator dalam rangka membangun kemandirian masyarakat. Ketiga, Mengoptimalkan petensi daerah guna mempercepat kemandirian daerah dan pemerataan pembangunan.
Keempat, Meningkatkan pertumbuhan investasi dan pendapatan daerah dengan regulasi perizinan. Kelima, Mengintegrasikan dan menyinergikan programprogram penanggulangan kemiskinan. Keenam, Revitalisasi ekonomi kerakyatan berbabsis koperasi. Ketujuh, Mewariskan mental kejuangan dan spirit kepahlawanan kepada masyarakat. Kedelapan, Memperluas pembangunan infrastuktur dengan membuka akses simpul-simpul ekonomi untuk mempermudah pembangunan di semua sektor. Kesembilan, menuntaskan persoalan-persoalan pokok di Kota Semarang.
Prioritas Pembangunan
Dari paparan visi misi di atas tergambar, betapa peliknya problematika Kota Semarang. Dan untuk membenahinya butuh pemimpin yang punya naluri, kemauan, kemampuan, dan kepedulian luar biasa. Itu ada pada sosok Harini. Figur perempuan yang dikenal pekerja keras dan disiplin.
Sebagai pengejawantahan programnya, Harini sudah membuat skala prioritas bidang-bidang pembangunan Dra Hj Harini Krisniati MM, Calon Walikota Semarang SEMARANG HARUS BERUBAH Menuju Kota Mandiri 2015 SEMARANG HARUS BERUBAH!! Kalimat itu terkesan sederhana, tetapi secara harfiah mengandung makna yang sangat dalam. Dan itulah paradigma paten sekaligus cita-cita yang ingin diwujudkan Harini Krisniati, Calon Walikota Semarang 2010-2015. Apakah kondisi Kota Semarang belum seperti harapan banyak orang? “Semarang bisa jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Saya jamin!” kata Harini, satu-satunya wanita yang bertengger sebagai calon walikota.
yang harus segera dilakukan, yaitu:
1. Penguatan ekonomi masyarakat, yang meliputi:
a. Rehab/pembangunan pasar tradisional (47 buah)
b. Bantuan dana bergulir dengan system tanggung renteng (Rp
20 miliar per tahun)
c. Penguatan institusi local ekonomi dengan sistem koperasi.
2. Peningkatan pelayanan publik, meliputi:
a. Regulasi perizinan
b. Pemberian intensif
c. Optimalisiasi One Stop Service (OSS)
3. Peningkatan infrastruktur kota:
a. Pembangunan ring road luar, untuk membuka simpulsimpul
ekonomi baru
b. Akses jalan ke Pelabuhan Tanjung Emas.
4. Peningkatan SDM (Pendidikan dan Kesehatan):
a. Enterpreneur Government di dalam birokrasi.
b. Pemetaan SDM sesuai minat dan bakat.
c. Pemanfaatan data base penduduk miskin untuk layanan kesehatan gratis
d. Wajib pendidikan 12 tahun.
5. Penanganan lingkungan hidup, meliputi:
a. Penanganan rob dan banjir selesai tahun 2013, dengan luas 800 hektar dan biaya Rp 1,7 triliun (pembangunan Waduk Jatibarang, Banjirkanal Barat, drainase Semarang Tengah).
b. Layanan pengangkutan sampah 80% dari produksi sampah per hari untuk 150 kelurahan.
6. Pengenalan seni dan budaya melalui keluarga, dimulai dari usia prasekolah.
7. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak:
Peningkatan pendapatan keluarga sejahtera/PPKS,KDRI, Posyandu, pola asuh anak, PKK, penanganan penyandang masalah sosial.
8. Investasi optimalisasi zona industri, regulasi perizinan, lapangan kerja.
9. Kepemudaan dan olahraga, yakni pembangunan fasilitas pemuda dan olahraga terpadu.
10. Pariwisata (Kebun Binatan Wonosari & jaringan wisata)
11. Perdagangan & industri (sinergisitas antara pelaku usaha dan pemerintah)
12. Potensi laut dan agro (pembuatan pabrik pengolahan ikan, pengembangan varitas buah unggul.
13. Tranportasi:
a. Manajemen transportasi missal dengan menambah 10 koridor BRT di bawah badan layanan umum dengan melibatkan seluruh pelaku transportasi dan memberlakukan tariff murah untuk pelajar/mahasiswa, dan buruh/pekekrja dengan subsidi APBD.
b. Pembangunan fly over di berbagai titik jalan yang menimbulkan kemacetan.
14. Air bersih: Membatasi perizinan pengambilan air bawah tanah dan optimalisasi manajemen air bersih dengan mencari sumbersumber baru, pembaharuan jaringan perpipaan, dan efisiensi di semua bidang.***
Ingin Jadi Pemimpin, Bukan Penguasa!
APA beda pemimpin dan penguasa? Jika pertanyaan itu ditujukan pada masyarakat awam, tentu tak akan muncul jawaban spesifik. Sebab dua kata itu secara harfiah menunjukkan sosok seseorang yang bisa berbuat segalanya sesuai dengan jabatannya. Tata cara bertindaknya pun bisa sesuai aturan, bisa pula melanggar, tergantung niat sang pemangku jabatan tadi. Begitu tipis perbedaan di dalamnya. Tetapi di mata Harini Krisniati, satu-satunya sosok wanita yang mencalonkan diri sebagai Walikota Semarang periode 2010-2015, pemimpin dan penguasa tentu berbeda. Sama-sama punya kedudukan, wibawa, dan keistimewaan, tetapi keduanya bisa punya nilai berbeda di hati masyarakat, atau komunitas yang menjadi bawahannya.
Lalu antara keduanya, mana yang cocok dan diharapkan oleh Harini? “Saya ingin jadi pemimpin,
bukan penguasa,’’ tegasnya.
Tentu hal itu ada hubungannya dengan pencalonannya sebagai walikota. Sekadar catatan, semua calon yang ada seluruhnya diusung oleh kekuatan partai politik. Tanpa “kendaraan” parpol, sepertinya memang mustahil seseorang bisa maju sebagai balon walikota. Dan sekarang terbukti, untuk Pilwalkot Semarang 18 April mendatang, tidak ada satu pun calon perseorangan. Yakni calon yang maju tanpa diusung partai politik.
Bukan berarti Harini antipati dengan kekuatan massa parpol. Sebab dari organisasi inilah kekuatan massa bisa digalang. Harini pun memutuskan niatnya menjadi cawalkot dengan berangkat dari sebuah koalisi partai.
Namun sebagai antisipasi jika nanti mendapat amanat rakyat untuk menjadi Walikota Semarang, Harini tidak ingin disebut sebagai penguasa. “Saya lebih sreg dengan sebutan pemimpin,’’ katanya mantap. Menurut ibu dua anak itu, karena calon walikota diusung oleh kekuatan parpol, biasanya ketika sudah menjabat walikota, sosoknya berubah menjadi sosok penguasa. Masyarakat menjadi komoditas politik, sementara program-program yang dicanangkan hanya menimbulkan ketidakpastian di kalangan masyarakat. Sosok penguasa selalu bersandar pada organisasi politik yang pernah mengusungnya.
Ketika ada kritik atas tindakannya yang menyimpang, parpol pengusung membela mati-matian. Tidak jarang penguasa berlindung di balik nama besar partai, sementara program pembangunan yang pernah digembor-gemborkan di panggung kampanye hanya menjadi catatan yang anehnya –selalu-- bisa dipertanggungjawabkan. Ironis, memang. Tapi itulah sosok penguasa.
Lain halnya dengan sosok pemimpin, seperti yang diidam-idamkan Harini. Ia tetap menyadari sebagai bagian dari kekuatan parpol, terutama parpol yang mengusungnya. Tetapi ketika sudah didapuk menjadi seorang pemimpin, ia tidak akan mengorbankan masyarakat sebagai komoditas politik. “Masyarakat harus menjadi obyek pembangunan, bukan subyek,’’ katanya.
Satu hal lagi, figur pemimpin secara otomatis akan menyadari dirinya sebagai motivator penggerak, punya kreativitas, inovatif, dan bekerja atas nama kepentingan rakyat. Tidak ada alasan politis dalam menjalankan kepemimpinan, meski kekuatan parpol senantiasa dijadikan partner atau mitra dalam menggali informasi soal kebutuhan sekaligus keluhan masyarakat.
Pengalaman segudang sebagai birokrat, bisa menjadi modal bagi Harini. Seringnya turun ke bawah mendengar aspirasi masyarakat, juga menjadi pemacu untuk mengubah Kota Semarang yang sarat dengan problematika. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan sempitnya lapangan kerja, harus dicarikan jalan keluar sesegera mungkin. Lima tahun memimpin telah diperhitungkan matang bagaimana mengelola Semarang menjadi lebih baik, sehingga kepercayaan mamsyarakat terhadap pemimpinnya benar-benar bukan kamuflase. Dan itulah sebenarnya jatidiri seorang pemimpin, bukan penguasa.***
Bio Harini
HARINI KRISNIATI lahir di Magelang 25 Desember 1957. Di kota itu pula ia menempuh jenjang pendidikan SD dan SMP, sebelum akhirnya pindah di Semarang dan meneruskan ke jenjang SMA serta Fisip Undip (1982). Sedang S2-nya (Magister Management) ia tempuh di UII Yogyakarta tahun 2000.
Dari pernikahannya dengan Ir Indra Trisnadi dikaruniai dua anak, Dina Harindra Trisnani yang disunting Kapten (Mar) Achmad Yulianto, dan Oscara Trisnanda. Sebagai abdi masyarakat di jajaran Pemkot Semarang, berbagai jabatan penting pernah ia emban, yakni sebagai Kabag Humas, Kabag Pemerintahan/Ka Satpol PP, Kabag Organisasi, Kepala Dinas Koperasi di UKM, Kepala BKPM PB & A, Kepala Dinas Sosial Pemuda dan Olahraga, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Plt Sekda Kota Semarang.
Di sela-sela kesibukannya sebagai PNS, Harini juga masih disibukkan dengan berbagai jabatan di organisasi. Ia pernah aktif di GMNI, pernah pula menjabat Sekretaris Korpri Kota Semarang, Ketua Departement Wanita FKDPI Jawa Tengah, Wakil Ketua Alumni Undip, Ketua Yayasan Abdi Masyarakat, Ketua Umum Persani Kota Semarang, dan Ketua Kwarcab Pramuka Kota Semarang.
Dari berbagai pengabdian itu, Harini menerima beberapa penghargaan, antara lain Satya Lencana Presiden RI Tahun 2007, dan Smart Woman Tahun 2008.***
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.