Nyuci di kali bukan cuma dilakoni gadis-gadis zaman pendekar dulu. Di Kota Semarang yang ibukota, masih banyak warga memanfaatkan sungai untuk hajat sehari-hari. Akibat (air) langka, para gadis (tak malu) turun ke kali.
”KEINDAHAN” itu tersaji saban pagi dan sore, di sepanjang aliran irigasi Kampung Plumbon Kelurahan Wonosari, Ngaliyan. Jika tak malu memicingkan mata, bisalah sedikit memandangi tubuh-tubuh perempuan basah berbalut sabun.
”KEINDAHAN” itu tersaji saban pagi dan sore, di sepanjang aliran irigasi Kampung Plumbon Kelurahan Wonosari, Ngaliyan. Jika tak malu memicingkan mata, bisalah sedikit memandangi tubuh-tubuh perempuan basah berbalut sabun.
Memang, saluran irigasi yang melintas di RT 08 RW 03 itu menjadi pangkalan mandi yang asyik. Para ibu, sebagian gadis, asyik berbasah-basah sembari ngerumpi. Ada yang mencuci pring, nyuci baju, hingga membersihkan badan dari daki.
Dari warnanya, terlihat airnya tak jernih-jernih amat. Namun warna air kuning keputih-putihan itu tak menyurutkan hasrat. Warga tetap menggantungkan kebutuhan sehari-hari pada saluran irigasi. Sebut saja Kasmatun, warga setempat. Sore itu, dia tak sungkan mengguyur tubuhnya. “Saban pagi dan sore, anak-anak hingga dewasa mandi di sini,” ceritanya.
Nurohmad, yang tengah asyik mencuci motor, menimpali, ketergantungan warga terhadap saluran irigasi sudah sedari dulu. “Dari 76 KK di lingkup RT 08, hampir semua melakukan cuci mandi kakus di sini. Itu sudah sedari saya kecil. Kendati saluran tidak terlalu luas, namun airnya lancar,” cerita Nurahmad.
Memang, sebagian warga sudah memiliki sumur timba. Namun terlanjur merasa mudah dan gampang, saluran irigasi tetap primadona. “Sudah ada sumur timba, 10 milik warga dan 1 di Musholla Almuttaqin. Namun hanya untuk masak dan minum. Malahan sudah ada sumur artetis bantuan pemerintah, namun warga masih lari ke irigasi,” tuturnya.
Untuk minum dan masak, sebagian warga membeli kepada pedagang keliling. “Warga nggak mau pasang PDAM karena lebih mahal. Kalau nggak beli kelilingan, ya ambil dari sumur dan mushola,”bebernya.
Namun musim penghujan, aktivitas kali terhenti. Karena air tak lagi ramah. Dia datang membawa lumpur kotor dan pekat. Alhasil, warga pun ”terpaksa” memanfaatkan sumur artetis bantuan pemerintah.
Kebalikannya jika kemarau, aliran justru bersih. Meski kemarau panjang pun, air tak pernah asat. “Agar terus mengalir, warga merawatnya dengan kerja bakti. Satu yang tidak boleh dilakukan warga di saluran irigasi yaitu buang hajat dari atas,” ujarnya tersenyum.
Lebih Marem
Adegan”nyuci di kali” tak hanya di pinggiran. Di pusat kota pun tak jauh beda. Seperti bisa dijumpai di kawasan Lemah Gempal Kelurahan Barusari, mayoritas warga masih memanfaatkan aliran Kali Bendungan.
Saat Harsem menyusuri kampung di belakang Mapolrestabes Semarang itu sore kemarin, terpergok seorang ibu paruh baya yang menceburkan tubuhnya ke dalam air. Dengan mengenakan pakaian lengkap, tanpa risi wanita itu menggosok tubuhnya dengan sabun di aliran air berwarna kecoklatan. Sesekali ia membungkuk hingga kepalanya terendam, lalu menggosok kulit kepalanya.
Ny Subianto (56) merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan yang ”gemar” mencuci di kali Bendungan. Menurutnya, kebiasaan nyuci di kali sudah dilakukan sejak kecil. ”Orangtua saya dulu nyuci di kali, sampai sekarang saya juga masih,” jelasnya.
Perempuan bercucu empat ini merasa kalau tidak nyuci di kali rasanya kurang marem. ”Kalau di kali airnya langsung mengalir, sedangkan kalau di rumah harus masukin air ke ember terus dibuang, malah lebih capek,” jelasnya sembari tertawa.
Pihak Kelurahan Barusari sempat melarang warga nyuci di kali, namun warga tidak mengindahkan. Dia menceritakan, petugas kelurahan sempat membongkar pangkalan cuci. Sebagai gantinya, kelurahan memberi pompa air tangan. ”Saya tahu niat baik kelurahan, tapi ini sudah kebiasaan mau gimana lagi,” tuturnya.
Akhirnya warga mengumpulkan uang iuran untuk membangun kembali pangkalan cucian yang telah dibongkar. ”Pompa tangan sumbangan kelurahan masih digunakan kalau sungai surut,” lanjutnya.
Bagi warga, mencuci di kali bisa dijadikan sarana bertukar informasi. Mirip-mirip facebook fungsinya, juma yang ini modelnya kopdar alias ”kopi darat”. ”Nyuci di sini asyik, bisa sambil ngerumpi,” imbuhnya.
Kualitas Air Turun
Di mata pakar lingkungan yang juga Rektor Undip Prof Sudharto P Hadi, tak ada yang salah dengan tradisi nyuci di kali. “Justru air kali masih alami. Pemanfaatan air kali juga akan mendorong pelestarian,” jelasnya.
Namun masalahnya, kualitas air di sejumlah sungai di Kota Semarang cenderung buruk. Sebab kesadaran masyarakat menjaga kelestarian lingkungan rendah. Agar kualitas air terjaga, masyarakat harus meningkatkan kesadaran lingkungan, utamanya dengan tidak membuang sampah di sungai.
Limbah domestik rumah tangga setidaknya menyumbang 65% dari total pencemaran. Hingga kini, masih saja ada yang berpikir sungai merupakan tempat pembuangan sampah. “Itulah yang membuat kualitas air di Semarang jelek. Pencemaran air terutama dari limbah rumah tangga,” ungkapnya.
Dia berharap ada perubahan mindset, agar masyarakat agar tidak menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan limbah. “Kawasan Semarang bagian tengah, timur, dan barat serta kawasan padat penduduk lainnya memberikan sumbangan pencemaran yang luar biasa,” jelasnya prihatin.
Pemkot juga diminta melakukan pemantauan terhadap sejumlah kawasan industri. Sebab, kerapkali sungai dijadikan tempat favorit pembuangan limbah. “Jumlah pencemarannya memang tak sebanyak akibat limbah rumah tangga karena beberapa industri sudah memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Namun, kadar racunnya bisa dibilang mematikan,” katanya.
Kondisi inilah yang menjadikan air tanah di Semarang bawah berkualitas buruk. Sungai-sungai yang ada, selain berwarna coklat juga berbau tak sedap.
Berdasarkan penelitian Dosen Magister Kesehatan Lingkungan Undip Mursid Raharjo pada tahun lalu, ditemukan air sungai dari Kali Semarang dan sekitarnya dipenuhi bakteri e-coli. Pe rmililiter sampel air, mengandung 1.000–1.200 bakteri. Alhasil, sebenarnya air sungai di Semarang berbahaya bagi kesehatan.
“Ambang batas yang diperbolehkan adalah 100 e-coli per 50 mililiter air. Penyebaran pencemaran sudah melebar hingga 50 meter di kanan dan kiri sisi badan sungai. Dampak penyakit yang bisa ditimbulkan di antaranya diare hingga liver, pencernaan, disentri atau kolera,” ungkapnya.
Walikota Semarang Soemarmo HS meminta masyarakat lebih peduli. Antara lain dengan tidak membuang sampah di sungai. Upaya Pemkot antara lain melalui program resik-resik kali.
“Kota ini tempat tinggal kita, kalau bukan kita yang ngopeni siapa lagi. Mari bersama-sama menjaga lingkungan. Kita tumbuhkan budaya malu buang sampah sembarangan,” tandasnya.
Yuk, kita jaga kebersihan kali. Agar keindahan gadis-gadis mandi di kali tetap lestari. Lissa Febrina/Prihati Puji Utami/Nji
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.