Latest Post
00.38
GM Dafam Hotel Firman S Permana Berawal dari Nasi Goreng
Written By tonitok on Kamis, 29 November 2012 | 00.38
SEMARANG-Bagi
Firman S Permana, General Manager Dafam Hotel Semarang, urusan memasak
bukanlah hal asing. Pasalnya, pria kelahiran Surabaya ini sudah terbiasa
memasak sejak dirinya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama
(SMP).
Dia
mengaku, memasak sudah jadi hobi dan passion dalam hidupnya. Sebagai
anak yang dibesarkan di lingkungan TNI, membuatnya mandiri dan
disiplin. Salah satunya menyiapkan makanan untuk diri sendiri.
“Kebetulan
orang tua saya tentara yang tugas dinasnya selalu berpindah-pindah.
Ketika ibu tak menyediakan makanan, inilah yang membuat saya akhirnya
masuk ke dapur untuk memasak. Awalnya dari membuat nasi goreng hingga
masak berbagai masakan,” ungkapnya.
Anak
kedua dari dua bersaudara ini mengatakan, dari hobinya memasak itulah
yang membawanya melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Pariwisata Bali,
mengambil jurusan D3 Food and Baverage Management.
Saat
kuliah, ayah empat anak ini tak sekadar menimba ilmu, namun juga
bekerja di salah satu kafe ternama di Pulau Dewata. “Saat di Bali justru
berubah, lebih memilih kerja di bar. Karena saat itu kerja di bar
terlihat lebih keren. Masuk di bar dipercayakan menjadi pemasak,”
jelasnya.
Karena
kepiawaiannya masak, sekaligus pintar berinteraksi dengan orang banyak,
Firman pernah dipercaya meng-handle acara live cooking. Inilah yang
membawanya menjadi manajer resto sampai akhirnya sekarang bekerja di
kantor, bukan di dapur.
“Sebelumnya
saya di Sheraton Hotel Surabaya selama 18 tahun sebagai FnB Manager,
sekarang menajdi general manager di Dafam Hotel Semarang,” jelasnya.
Melihat
persaingan hotel yang makin ketat, Firman mengaku perlu banyak hal yang
dipersiapkan terutama dalam planning untuk 2013. Saat ini dirinya fokus
di bidangfFood and beverage. Berbagai even mengenai food and beverage
pun tengah digiatkan, di antaranya menggelar cooking competition war
untuk awak media. (wam/yul)
Label:
Gagas,
Lebih jauh dengan
13.51
Handono S Putro, GM Hotel Dafam
Written By tonitok on Sabtu, 24 November 2012 | 13.51
Jabatan General Manager Hotel Dafam Semarang, yang saat ini direngkuhnya, boleh jadi merupakan “puncak kejutan” dari lelakon hidup panjang dan penuh kegilaan itu.
JOGJA dan Jakarta. Dua kota yang paling penuh kenangan bagi seorang Handono S Putro. Dilahirkan di Jakarta, tapi dia dibesarkan di Jogja, kampung halaman kakek-neneknya. Ibukota kembali memanggil, juga menempanya, sebelum dia meretas jalan sukses di karir yang tak pernah terpikir sebelumnya: dunia perhotelan.
Dunia hotel, yang menuntut penampilan bersih, klimis, serbatertata dan wangi yang dilakoninya kini, jelas tak pernah berkerabat dengan jagad seni yang serbabebas dengan ekspresi tak terbatas yang lama diakrabi Handono sebelumnya. Semasih di Jogja, pria kelahiran Jakarta, 28 Oktober 1972 ini memang menguyupi seni. Bahkan, selulus SMA, dia memilih kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja.
Namun, Handono sepertinya memang terlahir sebagai seniman alam. Darah seni gawan bayi, dan doyan ngedan. Terutama dalam urusan melahirkan gagasan-gagasan dan menyikapi kehidupan. Energinya senantiasa membuncah. Tanpa peduli ada yang mengapresiasi atau tidak samasekali. Pokoknya, seni. Nyeni. Nyeniman. “Ngamen pun lumayan lama saya jalani. Nggak peduli gimana pendapat orang,” ungkapnya. Terkesan asal, tapi bukan asal-asalan. Ibarat “seniman tanpa tanda jasa.”
Tekad kuat dan semangat adalah modal hidup yang juga gawan bayi. Optimisme selalu melekat di tiap langkahnya. ”Menjalani hidup, saya selalu optimis. Memandang segala sesuatu dengan positive thinking. Bahkan yang negatif pun, akan selalu saya positifkan,” ungkap Handono.
Sebuah prinsip hidup yang mesti dibayar mahal Handono dengan tidak tuntas mencecap ilmu di ISI, yang ditinggalkannya di tengah jalan. Dan demi melihat tanpa juntrung serta tak bermasa depan, kedua orangtuanya pun lantas memboyongnya ke Jakarta.
Atas saran orangtua, kuliah Akademi Perhotelan dan Pariwisata Sahid Jakarta pun dilakoninya. Rela tak rela, dia masuki Jurusan Housekeeping. “Geli kalau ingat saat awal mau masuk dulu. Dalam benak saya, housekeeping itu berkaitan bidang interior. Nggak tahunya, setelah lulus dan pertama kerja di hotel, ternyata kerja saya disuruh bersih-bersih. Saya baru paham jika housekeeping itu ternyata seperti tukang sapu, samasekali bukan soal tata ruang atau interior seperti yang saya pikir,” ungkapnya sambil senyum, tentang pengalaman pertamanya sebelum menjadi room attendant Hotel Ibis Slipi, Jakarta.
Karir Mengalir
Sempat kecewa, tapi tak sampai berlarut. Kesalahpahaman itu justru melahirkan ketelanjuran baginya untuk lebih menyeriusi dunia perhotelan. Terbukti, karirnya terus mengalir, dari hotel ke hotel. DI Jakarta, setelah dari Ibis Slipi, sepanjang 1994 hingga 1997, tiga hotel dengan tiga posisi berbeda dirambahnya. Dari Assistant Executive Housekeeper Golden Boutique Hotel, Senior Housekeeping Supervisor Hotel Dusit Mangga Dua, hingga Housekeeping Supervisor Hotel Radisson Red Top Square.
Selepas itu, antara 1997 hingga tahun ini, sejumlah hotel di wilayah Jogja merasakan sentuhannya. Mulai posisi Executive Housekeeper Hotel Novotel, Room Division Manager Hotel Ibis Malioboro, hingga GM Santika Premiere. Di sesela itu, Handono juga sempat menjadi Executive Assistant Manager Hotel Novotel dan Ibis Solo.
Saat ini, selain bertengger di posisi puncak sebagai GM Hotel Dafam Semarang, Handono masih merangkap jabatan sebagai Korwil GM Jawa Tengah dan Jogja untuk Grup Hotel Santika yang diembannya sejak 2009.
Di tiap karir dan posisinya di hotel-hotel itu, Handono mengaku selalu menggabungkan manajemen maupun kepemimpinan berbasis seni. ”Jiwa ngedan seni saya tetap saya terapkan dalam pengelolaan hotel. Basic-nya tetap seni. Art. Karena manajemen itu sendiri adalah seni,” tuturnya.
Tak heran jika belakangan dia sukses menghelat event promo unik dan ”gila-gilaan”, menggantikan resepsionis Dafam dengan artis-artis ibukota, macam Lia Amelia, Trio Singo Edan (Furi, Ira, Dian), personel D'Kabel, dan Ageng Kiwi yang kebetulan sedang menjadi tamu hotelnya. ”Nyatanya artis-artis itu antusias banget jadi resepsionis, hahaha...” bebernya.
Sebelumnya, semasih di Santika Premiere Jogja, dia sempat bikin ”ulah” dengan mematok room rate hanya seharga 20 sen. ”Nggak nyangka, tamu sampai berebut, begitu antusias. Padahal untuk mencari kepingan uang sen itu kan nggak gampang,” kenangnya.
Ya, di tangan Handono, dunia perhotelan dan seni ”ugal-ugalan” menjadi berkerabat akrab. Wajar pula jika kemudian oleh Handono, konsep ”CSR” pun tidak lagi corporate social responsibilty (tanggungjawab sosial perusahaan), melainkan diikhtiarkan menjadi cultural social responsibilty alias tanggungjawab sosial budaya. teguh argari bisono/dwi nr
BioHandono
Nama : Handono S Putro
Jabatan: General Manager Hotel Dafam Semarang
Kelahiran: Jakarta, 28 Oktober 1972
Status: Menikah, dikaruniai tiga putri
Nama: Nabila (12), Zahra (11), Neyza (9)
Agama: Islam
Hobi: Musik, melukis, membaca, dan berpetualang
Pendidikan: DIII Akademi Perhotelan dan Pariwisata Sahid Jakarta (lulus 1994)
Pengalaman Karir:
2011-sekarang - GM Hotel Dafam Semarang
2009-2011 - Korwil GM Jawa Tengah dan Jogja untuk Grup Hotel Santika
- GM Santika Premiere Jogja
2008-2009 - Executive Assistant Manager Hotel Novotel dan Ibis Solo
2001-2008 - Room Division Manager Hotel Ibis Malioboro Yogyakarta
1997-2001 - Executive Housekeeper Hotel Novotel Yogyakarta
1997 - Assistant Executive Housekeeper Golden Boutique Hotel Jakarta
1996-1997 - Senior Housekeeping Supervisor Hotel Dusit Mangga Dua Jakarta
1995-1997 - Housekeeping Supervisor Hotel Radisson Red Top Square Jakarta
1994-1995 - Room Attendant Hotel Ibis Slipi Jakarta
Pengalaman Organisasi:
2010-sekarang - Direktur Eksekutif Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata (LSP Par) DIY
- Assessor Kompetensi bidang Hotel
2004-sekarang - Ketua Indonesian Housekeeper Association (IHKA) Regional Jogja- Jawa Tengah
- Pengurus/Litbang Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia ((PHRI) Cabang Jogja
-Anggota Ikatan Ahli Perhotelan Indonesia (Iapindo)
2010-2011 - Wakil Ketua Penyelenggara Jogja Travel Mart (JTM)
2004-2006 – Tim Ahli dalam Pengembangan Pendidikan Menengah Kejuruan Pehotelan Dikmenjur Jakarta
JOGJA dan Jakarta. Dua kota yang paling penuh kenangan bagi seorang Handono S Putro. Dilahirkan di Jakarta, tapi dia dibesarkan di Jogja, kampung halaman kakek-neneknya. Ibukota kembali memanggil, juga menempanya, sebelum dia meretas jalan sukses di karir yang tak pernah terpikir sebelumnya: dunia perhotelan.
Dunia hotel, yang menuntut penampilan bersih, klimis, serbatertata dan wangi yang dilakoninya kini, jelas tak pernah berkerabat dengan jagad seni yang serbabebas dengan ekspresi tak terbatas yang lama diakrabi Handono sebelumnya. Semasih di Jogja, pria kelahiran Jakarta, 28 Oktober 1972 ini memang menguyupi seni. Bahkan, selulus SMA, dia memilih kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja.
Namun, Handono sepertinya memang terlahir sebagai seniman alam. Darah seni gawan bayi, dan doyan ngedan. Terutama dalam urusan melahirkan gagasan-gagasan dan menyikapi kehidupan. Energinya senantiasa membuncah. Tanpa peduli ada yang mengapresiasi atau tidak samasekali. Pokoknya, seni. Nyeni. Nyeniman. “Ngamen pun lumayan lama saya jalani. Nggak peduli gimana pendapat orang,” ungkapnya. Terkesan asal, tapi bukan asal-asalan. Ibarat “seniman tanpa tanda jasa.”
Tekad kuat dan semangat adalah modal hidup yang juga gawan bayi. Optimisme selalu melekat di tiap langkahnya. ”Menjalani hidup, saya selalu optimis. Memandang segala sesuatu dengan positive thinking. Bahkan yang negatif pun, akan selalu saya positifkan,” ungkap Handono.
Sebuah prinsip hidup yang mesti dibayar mahal Handono dengan tidak tuntas mencecap ilmu di ISI, yang ditinggalkannya di tengah jalan. Dan demi melihat tanpa juntrung serta tak bermasa depan, kedua orangtuanya pun lantas memboyongnya ke Jakarta.
Atas saran orangtua, kuliah Akademi Perhotelan dan Pariwisata Sahid Jakarta pun dilakoninya. Rela tak rela, dia masuki Jurusan Housekeeping. “Geli kalau ingat saat awal mau masuk dulu. Dalam benak saya, housekeeping itu berkaitan bidang interior. Nggak tahunya, setelah lulus dan pertama kerja di hotel, ternyata kerja saya disuruh bersih-bersih. Saya baru paham jika housekeeping itu ternyata seperti tukang sapu, samasekali bukan soal tata ruang atau interior seperti yang saya pikir,” ungkapnya sambil senyum, tentang pengalaman pertamanya sebelum menjadi room attendant Hotel Ibis Slipi, Jakarta.
Karir Mengalir
Sempat kecewa, tapi tak sampai berlarut. Kesalahpahaman itu justru melahirkan ketelanjuran baginya untuk lebih menyeriusi dunia perhotelan. Terbukti, karirnya terus mengalir, dari hotel ke hotel. DI Jakarta, setelah dari Ibis Slipi, sepanjang 1994 hingga 1997, tiga hotel dengan tiga posisi berbeda dirambahnya. Dari Assistant Executive Housekeeper Golden Boutique Hotel, Senior Housekeeping Supervisor Hotel Dusit Mangga Dua, hingga Housekeeping Supervisor Hotel Radisson Red Top Square.
Selepas itu, antara 1997 hingga tahun ini, sejumlah hotel di wilayah Jogja merasakan sentuhannya. Mulai posisi Executive Housekeeper Hotel Novotel, Room Division Manager Hotel Ibis Malioboro, hingga GM Santika Premiere. Di sesela itu, Handono juga sempat menjadi Executive Assistant Manager Hotel Novotel dan Ibis Solo.
Saat ini, selain bertengger di posisi puncak sebagai GM Hotel Dafam Semarang, Handono masih merangkap jabatan sebagai Korwil GM Jawa Tengah dan Jogja untuk Grup Hotel Santika yang diembannya sejak 2009.
Di tiap karir dan posisinya di hotel-hotel itu, Handono mengaku selalu menggabungkan manajemen maupun kepemimpinan berbasis seni. ”Jiwa ngedan seni saya tetap saya terapkan dalam pengelolaan hotel. Basic-nya tetap seni. Art. Karena manajemen itu sendiri adalah seni,” tuturnya.
Tak heran jika belakangan dia sukses menghelat event promo unik dan ”gila-gilaan”, menggantikan resepsionis Dafam dengan artis-artis ibukota, macam Lia Amelia, Trio Singo Edan (Furi, Ira, Dian), personel D'Kabel, dan Ageng Kiwi yang kebetulan sedang menjadi tamu hotelnya. ”Nyatanya artis-artis itu antusias banget jadi resepsionis, hahaha...” bebernya.
Sebelumnya, semasih di Santika Premiere Jogja, dia sempat bikin ”ulah” dengan mematok room rate hanya seharga 20 sen. ”Nggak nyangka, tamu sampai berebut, begitu antusias. Padahal untuk mencari kepingan uang sen itu kan nggak gampang,” kenangnya.
Ya, di tangan Handono, dunia perhotelan dan seni ”ugal-ugalan” menjadi berkerabat akrab. Wajar pula jika kemudian oleh Handono, konsep ”CSR” pun tidak lagi corporate social responsibilty (tanggungjawab sosial perusahaan), melainkan diikhtiarkan menjadi cultural social responsibilty alias tanggungjawab sosial budaya. teguh argari bisono/dwi nr
BioHandono
Nama : Handono S Putro
Jabatan: General Manager Hotel Dafam Semarang
Kelahiran: Jakarta, 28 Oktober 1972
Status: Menikah, dikaruniai tiga putri
Nama: Nabila (12), Zahra (11), Neyza (9)
Agama: Islam
Hobi: Musik, melukis, membaca, dan berpetualang
Pendidikan: DIII Akademi Perhotelan dan Pariwisata Sahid Jakarta (lulus 1994)
Pengalaman Karir:
2011-sekarang - GM Hotel Dafam Semarang
2009-2011 - Korwil GM Jawa Tengah dan Jogja untuk Grup Hotel Santika
- GM Santika Premiere Jogja
2008-2009 - Executive Assistant Manager Hotel Novotel dan Ibis Solo
2001-2008 - Room Division Manager Hotel Ibis Malioboro Yogyakarta
1997-2001 - Executive Housekeeper Hotel Novotel Yogyakarta
1997 - Assistant Executive Housekeeper Golden Boutique Hotel Jakarta
1996-1997 - Senior Housekeeping Supervisor Hotel Dusit Mangga Dua Jakarta
1995-1997 - Housekeeping Supervisor Hotel Radisson Red Top Square Jakarta
1994-1995 - Room Attendant Hotel Ibis Slipi Jakarta
Pengalaman Organisasi:
2010-sekarang - Direktur Eksekutif Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata (LSP Par) DIY
- Assessor Kompetensi bidang Hotel
2004-sekarang - Ketua Indonesian Housekeeper Association (IHKA) Regional Jogja- Jawa Tengah
- Pengurus/Litbang Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia ((PHRI) Cabang Jogja
-Anggota Ikatan Ahli Perhotelan Indonesia (Iapindo)
2010-2011 - Wakil Ketua Penyelenggara Jogja Travel Mart (JTM)
2004-2006 – Tim Ahli dalam Pengembangan Pendidikan Menengah Kejuruan Pehotelan Dikmenjur Jakarta
Label:
Gagas,
Lebih jauh dengan
04.10
“Insya Allah. Semua sudah saya programkan. Saya harus membaur dengan rakyat, agar rakyat mengenal pemimpinnya, sekaligus saya bisa menyerap aspirasi yang ada di masyarakat,” katanya mantap saat ditemui Harsem di suatu pagi.
Tentu ini bukan program main-main. Tidak sekadar turba, tapi benar-benar ingin memotivasi masyarakat dan pejabat agar lebih maksimal dalam menjalani hidup keseharian, punya tujuan pasti, dan bisa saling interaksi. Sebab harus diakui, banyak permasalahan di masyarakat yang sering tidak terdengar pemimpinnya. Dan, Widya Kandi bukan tipe pemimpin seperti itu. Bukan pemimpin yang mau begitu saja menerima laporan bawahannya.
Suatu ketika, Widya Kandi pernah menerima laporan dari bawahan tentang situasi desa dan kecamatan yang zero permasalahan. Baik soal kemiskinan, penyakit, atau soal-soal pelik lainnya. “Saya paling benci kalau dilapori keadaan yang zero-zero. Katanya tidak ada warga yang terkena penyakit, tidak ada warga yang miskin, dan lain sebagainya. Itu menyesatkan, sebab kita tidak bisa mencari solusi penyelesaian. Dan benar juga, setelah saya cek, ternyata banyak warga yang menderita sakit TBC. Coba kalau itu dilaporkan apa adanya, pasti segera bisa diobati dan dilakukan pencegahan,” tuturnya.
Bupati pun memberi arahan pada semua bawahan, jangan takut melaporkan keadaan suatu wilayah apa adanya. Tak cukup sampai di situ, Widya Kandi pun terjun langsung ke masyarakat setiap hari. Pernah dalam sehari dia nekat mengunjungi 16 desa. Luar biasa!! Apa resepnya?
“Semangat, ikhlas, dan selalu bahagia atau senang. Saya memimpin Kendal ini tanpa beban., jadi setiap hari enjoy. Sampai-sampai pejabat yang lain heran. Bahkan ada yang masuk angin dan kerokan. Banyak juga yang tanya resepsnya, ha..ha..ha,” ujar bupati mengenang.
Memang tak sekadar modal semangat, ikhlas, dan bahagia saja untuk menjangkau kunjungan sekian desa setiap hari. Sebagai dokter, Widya Kandi juga menyadari arti pentingnya menjaga kesehatan. Dia pun mewarisi keterampilan ibunya meracik minuman suplemen kesehatan berbahan baku herbal. Seperti ramuan dari polo, kencur, merica, cengkeh, dan jahe. Bahan-bahan itu setelah dicuci kemudian digeprak, direbus sampai mendidih, dan diminum jika badan sudah mulai terasa loyo atau capai.
“Ramuan itu bisa menghilangkan rasa kemeng, mencegah dan mengobati masuk angin, dan saat tidur bisa pulas sehingga paginya segar kembali. Terkadang saya juga membuat ramuan kunir asem yang ditambah sirih dan tumbar satu genggam. Kalau ramuan yang ini bisa melancarkan peredaran darah, menghilangkan infeksi. Ada lagi resep ramuan kinang yang terdiri dari sirih, gambir, dan kapur sirih yang bisa mencegah kanker kandungan,” katanya panjang lebar membocorkan resepnya.
Dari kunjungannya ke desa-desa, Widya Kandi jadi tahu kebutuhan rakyatnya. Banyak proyek jalan desa yang mangkrak gara-gara kurang material langsung bisa diselesaikan. Kebutuhan alat-alat olahraga pemuda desa yang biasanya hanya jadi wacana juga bisa dirampungkan.
Satu lagi yang perlu dicatat, sebagai bupati, Widya Kandi tidak ingin disubyo-subyo ketika mengunjungi sebuah desa. “Saya tidak perlu disambut secara mewah. Saya hanya ingin mendengar permasalahan sekaligus menyerap aspirasi rakyat. Perekonomian harus jalan, rakyat harus sehat, pendidikan harus terjamin,” katanya mengingatkan.
Bersama bawahannya, Widya Kandi pun membawa bekal sendiri. Jika tiba waktunya makan, biasanya bersama rombongannya, bupati mencari tempat yang asyik untuk makan sambil lesehan. Misalnya di hutan. Sampai-sampai bawahannya heran, sebab mereka sudah menyiapkan sebuah tempat nyaman seperti rumah makan atau restoran.
“Kalau cuma di restoran saya bisa. Tapi kan bukan itu tujuannya. Itu sih namanya bupati wisata kuliner. Tidak perlu yang mewah, yang penting pesan ke masyarakat sampai. Toh mereka sudah menyambutnya dengan antusias dan luar biasa, tidak perlu direpoti lagi,” ungkapnya.
Tentu sikap merakyat dan mau terjun langsung ke masyarakat seperti ini patut ditiru kalangan pejabat lainnya. Misalnya para wakil rakyat. Tidak sekadar mendengar, tetapi terjun langsung ke masyarakat dan mencarikan solusi permasalahan yang ada. (udins/dnr)
BioWidya
Nama : dr H Widya Kandi Susanti MM
Tempat/tgl lahir : Semarang, 26 Mei 1964
Agama : Islam
Anak : 4 ( empat ) orang
Jabatan terakhir : Anggota DPRD Kabupaten Kendal, Tahun 2009-2014 (Wakil Ketua DPRD)
Pendidikan terakhir : Magister Management Universitas Semarang, lulus tahun 2006
dr Hj Widya Kandi Susanti MM: Perempuan Penjelajah
Written By Harian Semarang on Rabu, 16 November 2011 | 04.10
dr Hj Widya Kandi Susanti MM |
Bupati Kendal dr Hj Widya Kandi Susanti MM layak disebut perempuan
penjelajah. Dia bertekad mengunjungi 284 desa yang ada di wilayahnya
demi menyerap aspirasi rakyat. Butuh ketahanan fisik yang luar biasa.
Apa resepnya?
SEJAK 27 September lalu, Bupati Kendal dr Hj Widya Kandi Susanti MM mulai melakukan jelajah desa yang sudah diprogramkan sejak dia dilantik 23 Agustus 2010. Untuk mengunjungi 284 desa dari 20 kecamatan yang ada, butuh waktu sekitar dua sampai tiga bulan. Mampukan dia melakukannya?
SEJAK 27 September lalu, Bupati Kendal dr Hj Widya Kandi Susanti MM mulai melakukan jelajah desa yang sudah diprogramkan sejak dia dilantik 23 Agustus 2010. Untuk mengunjungi 284 desa dari 20 kecamatan yang ada, butuh waktu sekitar dua sampai tiga bulan. Mampukan dia melakukannya?
“Insya Allah. Semua sudah saya programkan. Saya harus membaur dengan rakyat, agar rakyat mengenal pemimpinnya, sekaligus saya bisa menyerap aspirasi yang ada di masyarakat,” katanya mantap saat ditemui Harsem di suatu pagi.
Tentu ini bukan program main-main. Tidak sekadar turba, tapi benar-benar ingin memotivasi masyarakat dan pejabat agar lebih maksimal dalam menjalani hidup keseharian, punya tujuan pasti, dan bisa saling interaksi. Sebab harus diakui, banyak permasalahan di masyarakat yang sering tidak terdengar pemimpinnya. Dan, Widya Kandi bukan tipe pemimpin seperti itu. Bukan pemimpin yang mau begitu saja menerima laporan bawahannya.
Suatu ketika, Widya Kandi pernah menerima laporan dari bawahan tentang situasi desa dan kecamatan yang zero permasalahan. Baik soal kemiskinan, penyakit, atau soal-soal pelik lainnya. “Saya paling benci kalau dilapori keadaan yang zero-zero. Katanya tidak ada warga yang terkena penyakit, tidak ada warga yang miskin, dan lain sebagainya. Itu menyesatkan, sebab kita tidak bisa mencari solusi penyelesaian. Dan benar juga, setelah saya cek, ternyata banyak warga yang menderita sakit TBC. Coba kalau itu dilaporkan apa adanya, pasti segera bisa diobati dan dilakukan pencegahan,” tuturnya.
Bupati pun memberi arahan pada semua bawahan, jangan takut melaporkan keadaan suatu wilayah apa adanya. Tak cukup sampai di situ, Widya Kandi pun terjun langsung ke masyarakat setiap hari. Pernah dalam sehari dia nekat mengunjungi 16 desa. Luar biasa!! Apa resepnya?
“Semangat, ikhlas, dan selalu bahagia atau senang. Saya memimpin Kendal ini tanpa beban., jadi setiap hari enjoy. Sampai-sampai pejabat yang lain heran. Bahkan ada yang masuk angin dan kerokan. Banyak juga yang tanya resepsnya, ha..ha..ha,” ujar bupati mengenang.
Memang tak sekadar modal semangat, ikhlas, dan bahagia saja untuk menjangkau kunjungan sekian desa setiap hari. Sebagai dokter, Widya Kandi juga menyadari arti pentingnya menjaga kesehatan. Dia pun mewarisi keterampilan ibunya meracik minuman suplemen kesehatan berbahan baku herbal. Seperti ramuan dari polo, kencur, merica, cengkeh, dan jahe. Bahan-bahan itu setelah dicuci kemudian digeprak, direbus sampai mendidih, dan diminum jika badan sudah mulai terasa loyo atau capai.
“Ramuan itu bisa menghilangkan rasa kemeng, mencegah dan mengobati masuk angin, dan saat tidur bisa pulas sehingga paginya segar kembali. Terkadang saya juga membuat ramuan kunir asem yang ditambah sirih dan tumbar satu genggam. Kalau ramuan yang ini bisa melancarkan peredaran darah, menghilangkan infeksi. Ada lagi resep ramuan kinang yang terdiri dari sirih, gambir, dan kapur sirih yang bisa mencegah kanker kandungan,” katanya panjang lebar membocorkan resepnya.
Dari kunjungannya ke desa-desa, Widya Kandi jadi tahu kebutuhan rakyatnya. Banyak proyek jalan desa yang mangkrak gara-gara kurang material langsung bisa diselesaikan. Kebutuhan alat-alat olahraga pemuda desa yang biasanya hanya jadi wacana juga bisa dirampungkan.
Satu lagi yang perlu dicatat, sebagai bupati, Widya Kandi tidak ingin disubyo-subyo ketika mengunjungi sebuah desa. “Saya tidak perlu disambut secara mewah. Saya hanya ingin mendengar permasalahan sekaligus menyerap aspirasi rakyat. Perekonomian harus jalan, rakyat harus sehat, pendidikan harus terjamin,” katanya mengingatkan.
Bersama bawahannya, Widya Kandi pun membawa bekal sendiri. Jika tiba waktunya makan, biasanya bersama rombongannya, bupati mencari tempat yang asyik untuk makan sambil lesehan. Misalnya di hutan. Sampai-sampai bawahannya heran, sebab mereka sudah menyiapkan sebuah tempat nyaman seperti rumah makan atau restoran.
“Kalau cuma di restoran saya bisa. Tapi kan bukan itu tujuannya. Itu sih namanya bupati wisata kuliner. Tidak perlu yang mewah, yang penting pesan ke masyarakat sampai. Toh mereka sudah menyambutnya dengan antusias dan luar biasa, tidak perlu direpoti lagi,” ungkapnya.
Tentu sikap merakyat dan mau terjun langsung ke masyarakat seperti ini patut ditiru kalangan pejabat lainnya. Misalnya para wakil rakyat. Tidak sekadar mendengar, tetapi terjun langsung ke masyarakat dan mencarikan solusi permasalahan yang ada. (udins/dnr)
BioWidya
Nama : dr H Widya Kandi Susanti MM
Tempat/tgl lahir : Semarang, 26 Mei 1964
Agama : Islam
Anak : 4 ( empat ) orang
Jabatan terakhir : Anggota DPRD Kabupaten Kendal, Tahun 2009-2014 (Wakil Ketua DPRD)
Pendidikan terakhir : Magister Management Universitas Semarang, lulus tahun 2006
Label:
Gagas,
Lebih jauh dengan
04.10
BioHanik
Nama : Hanik Khoiru Sholikah
Kelahiran : Blitar, 29 Januari 1974
Orangtua : H Mushronef-Hj Susiah
Suami : Irwan Gunadarma
Anak :
1. Reyhan Ilham Pratama
2. Reynastrada Syahra Athilla
3. Reyestrada Muhamad Taffazul
Alamat : Perumahan Griya Medoho Asri No 83, Semarang
Pendidikan :
• DIII Pariwisata Untag Semarang
• SMA Negeri Blitar
• SMP Negeri Blitar
• SD Negeri Blitar
Organisasi : KNPI Kota Semarang
Partai : PDIP Perjuangan
Pekerjaan : Anggota Komisi B DPRD Kota Semarang Periode 2009-2014
Hobi : Travelling
Obsesi : Sukses dalam kondisi apa pun
Hanik Khoiru Sholikah: Politik itu Seni
Hanik Khoiru Sholikah |
Pariwisata dan politik. Dua bidang yang jelas berseberangan, tapi
bisa sejalan di tangannya. Asal tepat kelola, keduanya bisa sama-sama
menyenangkan dan dinikmati banyak orang.
LATAR belakang pendidikan yang dienyamnya dulu, kini telah menjadikan bekal tersendiri baginya untuk menggeluti dunia politik. “Saya dulu lulusan pariwisata. Namun jangan dikira itu nggak ada hubungannya dengan kegiatan yang saya geluti sekarang, lho,” kata Hanik Khoiru Sholikah, satu ketika.
LATAR belakang pendidikan yang dienyamnya dulu, kini telah menjadikan bekal tersendiri baginya untuk menggeluti dunia politik. “Saya dulu lulusan pariwisata. Namun jangan dikira itu nggak ada hubungannya dengan kegiatan yang saya geluti sekarang, lho,” kata Hanik Khoiru Sholikah, satu ketika.
Anggota Komisi B DPRD Kota Semarang dari Fraksi PDIP Perjuangan ini
menilai, dunia politik sebenarnya tidak sekejam atau sebusuk yang banyak
orang kira. Hal itu, menurutnya, tergantung cara seseorang mengolah dan
mengelolanya, sehingga pekerjaan politik bisa menyenangkan dan
dinikmati banyak orang pula.
“Sebagaimana latar belakang saya, dalam dunia pariwisata itu, kita
dituntut untuk melayani, selalu membuat suasana menjadi nyaman, dan
berupaya agar tetap disukai banyak orang. Sementara di dunia politik,
hal yang sama dapat kita terapkan pula, yakni harus bisa menjaga iklim
kondusif dengan selalu melayani masyarakat secara nyata,” papar
perempuan asli Blitar ini.
Dengan konsep seperti itu, penilaian atas politik di mata masyarakat
akan berubah. Bahkan, Hanik berharap, semua politikus dapat berpikiran
sama, karena nantinya dapat memberikan pemahaman yang baik soal
perpolitikan di Indonesia.
“Jika konsep seperti itu bisa dipahami banyak orang, maka politik tidak
lagi dinilai kejam atau busuk. Namun nanti, banyak orang akan menilai
bahwa politik itu merupakan seni yang bisa dipelajari dan diterapkan
oleh dan untuk semua,” ujar ibu tiga anak ini.
Konsep melayani itu sudah menjadi pemikirannya sejak kanak-kanak. Dari
pemikiran tersebut, orangtuanya ikut mendukungnya, karena dinilai ke
depan bisa bermanfaat bagi semua orang.
“Sikap melayani itu saya wujudkan ke bidang pariwisata. Penerapannya
sekarang, saya aktif di dunia organisasi. Bahkan pekerjaan sebagai
anggota dewan saat ini saya fokuskan untuk melayani masyarakat umum.
Jadi lebih klop,” ungkapnya sembari tersenyum.
Tantangan Dewan
Seputar tantangan selama menggeluti dunia politik, Hanik mengaku, hal itu sudah menjadi ”makanan sehari-hari”-nya. Mulai dari kecaman atau sikap pesimistis masyarakat atas kalangan dewan hingga perbedaan persepsi di internal dewan sendiri.
Tantangan Dewan
Seputar tantangan selama menggeluti dunia politik, Hanik mengaku, hal itu sudah menjadi ”makanan sehari-hari”-nya. Mulai dari kecaman atau sikap pesimistis masyarakat atas kalangan dewan hingga perbedaan persepsi di internal dewan sendiri.
Namun dari tantangan yang dihadapinya itu, dia berusaha untuk memilih
bersikap ”dingin.” Artinya, dia berusaha menanggapi setiap tantangan
secara tenang, sepanjang perbedaan pendapat itu masih bisa
dimusyawarahkan antarinternal dewan.
Sedangkan sikap masyarakat yang masih berpandangan ”miring” terhadap
dewan, dia yakin, hal itu masih bisa ”diperbaiki.” Di lingkungannya
sendiri, diakuinya, masih banyak masyarakat yang memiliki sikap seperti
itu.
“Masih banyak sekali masyarakat yang menilai seperti itu. Tapi kita
masih bisa menunjukkan kinerja, tidak hanya pekerjaan di gedung dewan
yang selama ini dinilai masyarakat cuma rapat dan bikin perda. Tindakan
nyata di lapangan yang harus ditunjukkan semua anggota dewan. Dengan
turun ke lapangan itu, maka kita bisa mengetahui apa yang dihadapi,
dikeluhkan, dan dibutuhkan masyarakat. Dari situ, masyarakat pun bisa
memahami soal pekerjaan kedewanan selama ini,” harapnya. ariel
noviandri/dnrBioHanik
Nama : Hanik Khoiru Sholikah
Kelahiran : Blitar, 29 Januari 1974
Orangtua : H Mushronef-Hj Susiah
Suami : Irwan Gunadarma
Anak :
1. Reyhan Ilham Pratama
2. Reynastrada Syahra Athilla
3. Reyestrada Muhamad Taffazul
Alamat : Perumahan Griya Medoho Asri No 83, Semarang
Pendidikan :
• DIII Pariwisata Untag Semarang
• SMA Negeri Blitar
• SMP Negeri Blitar
• SD Negeri Blitar
Organisasi : KNPI Kota Semarang
Partai : PDIP Perjuangan
Pekerjaan : Anggota Komisi B DPRD Kota Semarang Periode 2009-2014
Hobi : Travelling
Obsesi : Sukses dalam kondisi apa pun
Label:
Gagas,
Lebih jauh dengan
04.08
Cewek kelahiran Semarang, 12 Juli 1990 ini mengaku mengenal olahraga sepaturoda dari sang kakak, Arya Perdana yang juga sejak kecil menekuni olahraga satu ini dan kemudian bergabung dengan klub Eagle. Namun kakaknya tidak meneruskan lagi sebagai atlet sepaturoda, lantaran saat itu tidak bisa membagi waktunya dengan sekolah.
“Kalau saya memang dari dulu sudah senang dan niat di sepaturoda, ya nggak ada masalah. Pintar-pintarnya saya membagi waktu antara urusan di lintasan dengan kuliah dan kerja sebagai staf Dinpora Jateng. Keseimbangan itu mesti saya jaga,” ujarnya. Menjaga keseimbangan di dalam dan di luar lintasan, ibarat lintasan keseimbangan itu sendiri.
Dalam dua perhelatan PON 2004 di Sumsel dan PON 2008 di Kaltim, gadis berpostur 164 cm/54 kg ini selalu menyumbangkan emas untuk kontingen Jateng. Atas prestasinya di ajang PON tersebut, ia memperoleh penghargaan diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dari pemerintah provinsi Jateng.
Ajeng juga menyumbangkan emas bagi Kota Semarang saat berlaga di ajang Porprov Solo 2009, dengan empat emas. Bahkan pada penyelenggaraan Porprov empat tahun sebelumnya di Kota Semarang, ia menyumbangkan emas terbanyak juga dengan jumlah emas yang sama. Pada Piala Bupati Sidoarjo VIII, Februari lalu, ia juga menyabet tiga emas dan satu perak.
Mahasiswi Semester IV Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) ini berharap, cabang sepaturoda tetap dilombakan dalam ajang SEA Games dan Asian Games. Karena menurutnya, Indonesia akan berjaya mendulang emas jika cabang ini digelar di event olahraga tingkat regional tersebut, terutama di ajang SEA Games.
Altet yang mukim di Jalan Padi Utara IV/ K.104 Genuk Indah ini sering ditemani oleh ibunya, Tisnaningsih saat berlatih di arena sepaturoda yang terletak di kompleks Stadion Jatidiri.
Road to SEA Games
Kini Ajeng mesti bersiap menuju ajang SEA Games, setelah baru saja tampil di Yeosu World Roller Speed Skating Championship di Kota Yeosu, Korsel, 29 Agustus dan 6 September lalu.
Target yang dibebankan cukup berat, sepuluh besar. Dengan persaingan yang superketat, Ajeng bisa bersaing meski tak meraih gelar. “Karena kejuaraan dunia, target awal memang meleset, karena didominasi Eropa dan Amerika,” katanya.
Usai Kejuaraan Dunia Yeosu, atlet Pelatnas akan dikirim ke trek Jakabaring, Palembang yang menjadi venue SEA Games. Tes event di Jakabaring rencananya akan dilakukan pada 14-15 Oktober mendatang. Selain itu, Ajeng juga akan mengikuti World Cup Marathon di Cina, akhir bulan ini.
BioAjeng
NAMA: Ajeng Anindya Prasalita
PANGGILAN: Ajeng
LAHIR: Semarang, 12 Juli 1990
ALAMAT: Jalan Padi Utara IV/K.104 Genuk Indah, Semarang
PENDIDIKAN: Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Undip
PEKERJAAN: PNS Dinpora Jateng
HOBI: Jalan-jalan
PRESTASI TERBAIK:
- 1 Emas PON XVI/2000 Surabaya
- 4 Emas Porprov XII/2005 Kota Semarang
- 1 Emas PON XVII di Kalimantan Timur 2008
- 4 Emas Porprov VIII/2009 Solo
- Peringkat VI Haining Skate Festival 2010
- Timnas SEA Games 2011
Ajeng Anindya Prasalita: Lintasan Keseimbangan
Ajeng Anindya Prasalita (tengah) |
Cantik juga gesit. Ya, dialah atlet sepaturoda andalan Semarang.
Kisah mahasiswi arsitektur Undip yang juga staf Dinpora Jateng ini di
lintasan sepatu roda, sungguh tak biasa.
BAGI seorang atlet, bisa menyabet medali sejak awal terjun di cabang olahraga yang ditekuninya adalah hal yang luar biasa. Apalagi dia mampu menggondol medali itu di ajang nasional seperti yang dilakukan Ajeng Anindya Prasalita. Atlet sepaturoda ini sudah meraih medali di PON 2000 Jatim, saat ia masih kelas IV SD.
BAGI seorang atlet, bisa menyabet medali sejak awal terjun di cabang olahraga yang ditekuninya adalah hal yang luar biasa. Apalagi dia mampu menggondol medali itu di ajang nasional seperti yang dilakukan Ajeng Anindya Prasalita. Atlet sepaturoda ini sudah meraih medali di PON 2000 Jatim, saat ia masih kelas IV SD.
Cewek kelahiran Semarang, 12 Juli 1990 ini mengaku mengenal olahraga sepaturoda dari sang kakak, Arya Perdana yang juga sejak kecil menekuni olahraga satu ini dan kemudian bergabung dengan klub Eagle. Namun kakaknya tidak meneruskan lagi sebagai atlet sepaturoda, lantaran saat itu tidak bisa membagi waktunya dengan sekolah.
“Kalau saya memang dari dulu sudah senang dan niat di sepaturoda, ya nggak ada masalah. Pintar-pintarnya saya membagi waktu antara urusan di lintasan dengan kuliah dan kerja sebagai staf Dinpora Jateng. Keseimbangan itu mesti saya jaga,” ujarnya. Menjaga keseimbangan di dalam dan di luar lintasan, ibarat lintasan keseimbangan itu sendiri.
Dalam dua perhelatan PON 2004 di Sumsel dan PON 2008 di Kaltim, gadis berpostur 164 cm/54 kg ini selalu menyumbangkan emas untuk kontingen Jateng. Atas prestasinya di ajang PON tersebut, ia memperoleh penghargaan diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dari pemerintah provinsi Jateng.
Ajeng juga menyumbangkan emas bagi Kota Semarang saat berlaga di ajang Porprov Solo 2009, dengan empat emas. Bahkan pada penyelenggaraan Porprov empat tahun sebelumnya di Kota Semarang, ia menyumbangkan emas terbanyak juga dengan jumlah emas yang sama. Pada Piala Bupati Sidoarjo VIII, Februari lalu, ia juga menyabet tiga emas dan satu perak.
Mahasiswi Semester IV Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) ini berharap, cabang sepaturoda tetap dilombakan dalam ajang SEA Games dan Asian Games. Karena menurutnya, Indonesia akan berjaya mendulang emas jika cabang ini digelar di event olahraga tingkat regional tersebut, terutama di ajang SEA Games.
Altet yang mukim di Jalan Padi Utara IV/ K.104 Genuk Indah ini sering ditemani oleh ibunya, Tisnaningsih saat berlatih di arena sepaturoda yang terletak di kompleks Stadion Jatidiri.
Road to SEA Games
Kini Ajeng mesti bersiap menuju ajang SEA Games, setelah baru saja tampil di Yeosu World Roller Speed Skating Championship di Kota Yeosu, Korsel, 29 Agustus dan 6 September lalu.
Target yang dibebankan cukup berat, sepuluh besar. Dengan persaingan yang superketat, Ajeng bisa bersaing meski tak meraih gelar. “Karena kejuaraan dunia, target awal memang meleset, karena didominasi Eropa dan Amerika,” katanya.
Usai Kejuaraan Dunia Yeosu, atlet Pelatnas akan dikirim ke trek Jakabaring, Palembang yang menjadi venue SEA Games. Tes event di Jakabaring rencananya akan dilakukan pada 14-15 Oktober mendatang. Selain itu, Ajeng juga akan mengikuti World Cup Marathon di Cina, akhir bulan ini.
Di SEA Games, tuan rumah Indonesia menargetkan bisa meraih enam emas.
Salah satu nomor yang diandalkan ialah milik Ajeng, nomor seperti jarak
pendek 500-1.000 meter (sprint), jarak menengah 5.000 meter, dan jarak
jauh 10.000 meter. wiwig prayugi/dnr
BioAjeng
NAMA: Ajeng Anindya Prasalita
PANGGILAN: Ajeng
LAHIR: Semarang, 12 Juli 1990
ALAMAT: Jalan Padi Utara IV/K.104 Genuk Indah, Semarang
PENDIDIKAN: Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Undip
PEKERJAAN: PNS Dinpora Jateng
HOBI: Jalan-jalan
PRESTASI TERBAIK:
- 1 Emas PON XVI/2000 Surabaya
- 4 Emas Porprov XII/2005 Kota Semarang
- 1 Emas PON XVII di Kalimantan Timur 2008
- 4 Emas Porprov VIII/2009 Solo
- Peringkat VI Haining Skate Festival 2010
- Timnas SEA Games 2011
Label:
Gagas,
Lebih jauh dengan
04.07
Minatnya menggeluti dunia pendidikan muncul tatkala anak pertama beranjak masuk sekolah dasar. “Saat anak pertama saya menginjak usia sekolah dasar, saya mulai berpikir tentang pendidikan anak. Saya berpendapat bahwa untuk bisa menerapkan idealisme, maka harus memiliki sekolah sendiri. Sejak itulah saya mulai concern pada pendidikan,” ujar Direktur Sekolah Alam Ar Ridho ini mengawali kisah.
Diakui, proses pendirian sekolah alam tidak mulus. Apalagi di Semarang dan Jawa Tengah belum ada satu pun model sekolah alam. Setelah berkonsultasi dengan sang suami yang juga berkecimpung di dunia pendidikan, disepakati untuk mendirikan sekolah alam tersebut.
“Alasan saya memilih sekolah alam adalah agar anak dapat lebih mendekatkan diri kepada ciptaan Allah. Selain itu juga agar anak bisa belajar langsung dan mudah menangkap informasi ilmiah,” ujar ibu 11 anak ini.
Baginya, melalui sekolah alam ini anak akan semakin mudah diajak bersyukur. Karena saat pembelajaran berlangsung, anak lebih banyak menggunakan panca inderanya, dibandingkan pembelajaran di dalam kelas.
Mia memang memiliki konsep pendidikan yang berbeda dari orang kebanyakan. Baginya, pembelajaran siswa tidak harus –-bahkan tidak perlu-– di dalam kelas. Karena dengan belajar di dalam kelas, seringkali anak justru akan merasa tertekan, dan akhirnya tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik.
“Anak kelas satu SD ibaratnya baru mengenal dunia baru, selepas dirinya dari taman kanak-kanak, yang penuh dengan bermain. Oleh karenanya, mengapa kita harus memaksa dia untuk belajar dengan cara duduk di kelas? Mengapa kita tidak biarkan saja mereka belajar di luar sambil bermain?” tanya Mia bernada retoris.
Sembari bercerita, istri Nurul Khamdi ini memberi contoh tentang berbagai pelatihan yang diberikan kepada orang-orang dewasa.
“Mereka mendapatkan pelatihan dengan cara melakukan game. Tujuannya agar mereka senang, dan mampu menyerapkan materi dengan lebih baik. Bila terhadap orang dewasa saja dilakukan dengan metode bermain, mengapa kepada anak-anak justru tidak diperbolehkan?” tanyanya sekali lagi.
Disiplin Berbeda
Dirinya acap mendapatkan keluhan dari wali murid, perihal putra-putri mereka yang menjadi tidak disiplin. Namun dengan tegas Mia menyatakan bahwa model pembelajaran mereka menerapkan disiplin dari sisi yang berbeda.
“Saya tidak pernah mempermasalahkan baju yang dikenakan, pakai ikat pinggang atau tidak, bahkan bagaimana anak belajar. Yang terpenting adalah anak menyelesaikan tugas yang diberikan. Usia sekolah anak merupakan masa pertumbuhan. Melarang anak sama halnya memangkas kreativitas mereka. Selama yang dilakukan anak tidak berbahaya, kami masih mengizinkannya,” tukasnya.
Akan halnya dengan sekolah alam yang digawanginya, Mia menegaskan tetap memegang kendali kurikulum bersama sang suami. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga “kemurnian” idealisme yang telah lama mereka usung.
Terkait sekolah model lain –-seperti homeschooling-– Mia menyatakan sependapat dengan catatan tidak ada sekolah yang benar-benar bisa mengakomodasi siswa tersebut.
“Tidak ada masalah dengan sistem tersebut, selagi memang benar-benar dibutuhkan. Namun perlu diperhatikan, model ini membutuhkan keterlibatan orangtua yang lebih besar dibandingkan sekolah pada umumnya. Bagaimana pun, homeschooling membuat sang anak lebih banyak berada di rumah. Apabila orangtua tidak mampu memberikan pendampingan yang cukup, dikhawatirkan justru akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” paparnya. nur hidayat/dnr
BioMia
Nama : Mia Inayati Rachmania
Tanggal lahir : 12 April 1968
Alamat : Jalan Kelapa Kopyor 8 BN-23 Bukit Kencana Jaya, Semarang
Pendidikan : FMIPA UI
Profesi : Direktur Sekolah Alam Ar Ridho
Suami : Nurul Khamdi BEng
Anak : 11 orang
Motto Hidup : Bermanfaat untuk orang banyak dan masuk surga
Mia Inayati Rachmania : Bebas Berkreativitas
Direktur Al Ridho, Mia Inayati |
Idealismenya terhadap pendidikan anak membawanya ke ranah yang belum
pernah dilakoninya: mengelola sekolah alam. Sebuah konsep pendidikan
yang tak memangkas, melainkan membebaskan siswa berkreativitas.
SEORANG Mia Inayati Rachmania (43), tak pernah membayangkan akan berkecimpung di dunia pendidikan. Yang diketahui olehnya hanyalah bahwa dirinya sangat menyukai biologi. Lain tidak. Usai kuliah, menjadi pengajar pun masih jauh dari benaknya.
SEORANG Mia Inayati Rachmania (43), tak pernah membayangkan akan berkecimpung di dunia pendidikan. Yang diketahui olehnya hanyalah bahwa dirinya sangat menyukai biologi. Lain tidak. Usai kuliah, menjadi pengajar pun masih jauh dari benaknya.
Minatnya menggeluti dunia pendidikan muncul tatkala anak pertama beranjak masuk sekolah dasar. “Saat anak pertama saya menginjak usia sekolah dasar, saya mulai berpikir tentang pendidikan anak. Saya berpendapat bahwa untuk bisa menerapkan idealisme, maka harus memiliki sekolah sendiri. Sejak itulah saya mulai concern pada pendidikan,” ujar Direktur Sekolah Alam Ar Ridho ini mengawali kisah.
Diakui, proses pendirian sekolah alam tidak mulus. Apalagi di Semarang dan Jawa Tengah belum ada satu pun model sekolah alam. Setelah berkonsultasi dengan sang suami yang juga berkecimpung di dunia pendidikan, disepakati untuk mendirikan sekolah alam tersebut.
“Alasan saya memilih sekolah alam adalah agar anak dapat lebih mendekatkan diri kepada ciptaan Allah. Selain itu juga agar anak bisa belajar langsung dan mudah menangkap informasi ilmiah,” ujar ibu 11 anak ini.
Baginya, melalui sekolah alam ini anak akan semakin mudah diajak bersyukur. Karena saat pembelajaran berlangsung, anak lebih banyak menggunakan panca inderanya, dibandingkan pembelajaran di dalam kelas.
Mia memang memiliki konsep pendidikan yang berbeda dari orang kebanyakan. Baginya, pembelajaran siswa tidak harus –-bahkan tidak perlu-– di dalam kelas. Karena dengan belajar di dalam kelas, seringkali anak justru akan merasa tertekan, dan akhirnya tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik.
“Anak kelas satu SD ibaratnya baru mengenal dunia baru, selepas dirinya dari taman kanak-kanak, yang penuh dengan bermain. Oleh karenanya, mengapa kita harus memaksa dia untuk belajar dengan cara duduk di kelas? Mengapa kita tidak biarkan saja mereka belajar di luar sambil bermain?” tanya Mia bernada retoris.
Sembari bercerita, istri Nurul Khamdi ini memberi contoh tentang berbagai pelatihan yang diberikan kepada orang-orang dewasa.
“Mereka mendapatkan pelatihan dengan cara melakukan game. Tujuannya agar mereka senang, dan mampu menyerapkan materi dengan lebih baik. Bila terhadap orang dewasa saja dilakukan dengan metode bermain, mengapa kepada anak-anak justru tidak diperbolehkan?” tanyanya sekali lagi.
Disiplin Berbeda
Dirinya acap mendapatkan keluhan dari wali murid, perihal putra-putri mereka yang menjadi tidak disiplin. Namun dengan tegas Mia menyatakan bahwa model pembelajaran mereka menerapkan disiplin dari sisi yang berbeda.
“Saya tidak pernah mempermasalahkan baju yang dikenakan, pakai ikat pinggang atau tidak, bahkan bagaimana anak belajar. Yang terpenting adalah anak menyelesaikan tugas yang diberikan. Usia sekolah anak merupakan masa pertumbuhan. Melarang anak sama halnya memangkas kreativitas mereka. Selama yang dilakukan anak tidak berbahaya, kami masih mengizinkannya,” tukasnya.
Akan halnya dengan sekolah alam yang digawanginya, Mia menegaskan tetap memegang kendali kurikulum bersama sang suami. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga “kemurnian” idealisme yang telah lama mereka usung.
Terkait sekolah model lain –-seperti homeschooling-– Mia menyatakan sependapat dengan catatan tidak ada sekolah yang benar-benar bisa mengakomodasi siswa tersebut.
“Tidak ada masalah dengan sistem tersebut, selagi memang benar-benar dibutuhkan. Namun perlu diperhatikan, model ini membutuhkan keterlibatan orangtua yang lebih besar dibandingkan sekolah pada umumnya. Bagaimana pun, homeschooling membuat sang anak lebih banyak berada di rumah. Apabila orangtua tidak mampu memberikan pendampingan yang cukup, dikhawatirkan justru akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” paparnya. nur hidayat/dnr
BioMia
Nama : Mia Inayati Rachmania
Tanggal lahir : 12 April 1968
Alamat : Jalan Kelapa Kopyor 8 BN-23 Bukit Kencana Jaya, Semarang
Pendidikan : FMIPA UI
Profesi : Direktur Sekolah Alam Ar Ridho
Suami : Nurul Khamdi BEng
Anak : 11 orang
Motto Hidup : Bermanfaat untuk orang banyak dan masuk surga
Label:
Gagas,
Lebih jauh dengan
04.05
Setelah kasus Cliff Muntu mencuat, Inu pun disingkirkan dari IPDN. Dia kemudian dimutasikan ke Depdagri dan tidak mengajar di IPDN. Kemudian, Inu mundur dari pekerjaannya tanpa mendapat uang pensiun. “Semula saya dimutasikan ke Depdagri dengan diberi jabatan struktural yang rendah. Akhirnya harus pensiun karena jabatan itu tidak pas untuk orang berusia di atas 55 tahun. Sementara jabatan fungsional saya saat itu bisa sampai umur 65 tahun. Ini sama saja namanya pemecatan dengan kelicikan,” katanya.
Inu menuturkan pemecatan dirinya dari IPDN memang terkait kasus kematian praja Cliff Muntu yang tidak wajar. Begitu kasus itu muncul, pihak IPDN sudah siap memecatnya dengan cara memberikan jabatan struktural yang rendah. Setelah menjabat, dirinya mengaku diharuskan pensiun.
“Selama tiga tahun saya tidak menerima pensiun, karena memang tidak dikasihkan. Mereka bilang saya harus datang ke Depdagri dan IPDN ya itu tidak mungkin, sampai sana saja saya diusir dan didemo. Seperti itu kan tidak etis, begitu saya menuntut hak saya akhirnya uang pensiun keluar juga dan langsung saya belikan mobil,” ungkapnya.
Membongkar aib yang terjadi di kampus IPDN memang membutuhkan nyali besar, namun dia merasa dongkol dan gelisah melihat kenyataan yang terjadi dan tidak segera ditindak. Akhirnya dengan penuh keberanian pun dia melaporkan ke pihak kepolisian dan Presiden.
“Ini anak orang mati lho, itu anak manusia. Saya gelisah melihat apa yang terjadi di IPDN kala itu. Ada yang mati saya langsung lapor polisi untuk ditindak. Kalau pun saya dipecat masa bodoh,” bebernya. Inu menceritakan menuntut ilmu di IPDN kita bisa kehilangan rasa jijik. “Mereka disuruh makan muntah bersama-sama dalam rangka kebersamaan, itu kan tidak benar.
Padahal rasul mengajarkan kita tidak boleh makan yang menjijikan. Ada yang bilang Pak Inu ikut menempeleng, ya jelas saya tempeleng ada siswa bawa WTS ke kamar, masa saya harus diamkan saja. Bukan pengkhianat tapi menguak kebenaran,” lanjutnya.
Keberanian Inu mengungkap kasus kematian di IPDN, juga berdampak pada keluarganya. Ancaman dan teror baik melalui telepon maupun sms mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari. Inu pun meminta bantuan keamanan dari Kapolri demi keamanan dirinya dan keluarga. Inu diberikan ponsel yang dapat disadap oleh pihak kepolisian.
“Jadi polisi bisa langsung melacak siapa yang meneror. Selama tiga tahun, saya dan keluarga dikawal polisi jika bepergian. Mulai dari polisi yang berseragam dan polisi yang mengenakan pakaian preman. Keluarga punmenerima keadaan ini,” jelasnya.
Inu pun mengaku salut atas ketegaran istri tercintanya yang mengetahui dirinya dipensiunkan. Seketika saya dinyatakan dipecat, saya langsung memberi tahu istri melalui ponsel. Saya berkata hari ini dipecat dan diusir dari kampus IPDN.
Hanya dalam hitungan tiga detik istri saya menjawab, Kita tidak dipecat oleh Allah, kalau Allah yang memecat kita di bumi mana kita akan tinggal. Seluruh alam raya ini milik Allah. “Saya salut dengan ketegarannya dalam menerima apa yang terjadi,” jawabnya.
Setelah pensiun, Inu mengaku mengirim surat lamaran ke beberapa perguruan tinggi. Ada sekitar puluhan surat lamaran yang dia kirim, dan ternyata semuanya diterima. “Saya heran kok diterima semua lamarannya, maka dari itu saya juga harus menyeleksi tawaran itu semua. Mengajar S2 dan S3, kalau yang S1 kalau honornya bagus aja,” katanya sembari tertawa.
Inu Kencana Syafei
Inu Kencana Syafei |
Kini Jadi Rektor
Kampus ”Mewah”
Kampus ”Mewah”
Masih ingatkah Inu Kencana
Syafei dan perannya dalam geger IPDN sekitar empat tahun silam? Dialah
yang berani membongkar kebobrokan di tempatnya mengajar. Apa
kesibukannya setelah ”terpental” dari IPDN?
KEBERANIANNYA membongkar aib di
IPDN dimulai sekitar tahun 2003 lalu. Dia juga ikut menguak misteri
kematian praja IPDN, Cliff Muntu pada April 2007 silam. Aksinya yang
menyuarakan kebenaran di kampus yang terletak di Jatinangor ini rupanya
berdampak buruk pada karirnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Setelah kasus Cliff Muntu mencuat, Inu pun disingkirkan dari IPDN. Dia kemudian dimutasikan ke Depdagri dan tidak mengajar di IPDN. Kemudian, Inu mundur dari pekerjaannya tanpa mendapat uang pensiun. “Semula saya dimutasikan ke Depdagri dengan diberi jabatan struktural yang rendah. Akhirnya harus pensiun karena jabatan itu tidak pas untuk orang berusia di atas 55 tahun. Sementara jabatan fungsional saya saat itu bisa sampai umur 65 tahun. Ini sama saja namanya pemecatan dengan kelicikan,” katanya.
Inu menuturkan pemecatan dirinya dari IPDN memang terkait kasus kematian praja Cliff Muntu yang tidak wajar. Begitu kasus itu muncul, pihak IPDN sudah siap memecatnya dengan cara memberikan jabatan struktural yang rendah. Setelah menjabat, dirinya mengaku diharuskan pensiun.
“Selama tiga tahun saya tidak menerima pensiun, karena memang tidak dikasihkan. Mereka bilang saya harus datang ke Depdagri dan IPDN ya itu tidak mungkin, sampai sana saja saya diusir dan didemo. Seperti itu kan tidak etis, begitu saya menuntut hak saya akhirnya uang pensiun keluar juga dan langsung saya belikan mobil,” ungkapnya.
Membongkar aib yang terjadi di kampus IPDN memang membutuhkan nyali besar, namun dia merasa dongkol dan gelisah melihat kenyataan yang terjadi dan tidak segera ditindak. Akhirnya dengan penuh keberanian pun dia melaporkan ke pihak kepolisian dan Presiden.
“Ini anak orang mati lho, itu anak manusia. Saya gelisah melihat apa yang terjadi di IPDN kala itu. Ada yang mati saya langsung lapor polisi untuk ditindak. Kalau pun saya dipecat masa bodoh,” bebernya. Inu menceritakan menuntut ilmu di IPDN kita bisa kehilangan rasa jijik. “Mereka disuruh makan muntah bersama-sama dalam rangka kebersamaan, itu kan tidak benar.
Padahal rasul mengajarkan kita tidak boleh makan yang menjijikan. Ada yang bilang Pak Inu ikut menempeleng, ya jelas saya tempeleng ada siswa bawa WTS ke kamar, masa saya harus diamkan saja. Bukan pengkhianat tapi menguak kebenaran,” lanjutnya.
Keberanian Inu mengungkap kasus kematian di IPDN, juga berdampak pada keluarganya. Ancaman dan teror baik melalui telepon maupun sms mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari. Inu pun meminta bantuan keamanan dari Kapolri demi keamanan dirinya dan keluarga. Inu diberikan ponsel yang dapat disadap oleh pihak kepolisian.
“Jadi polisi bisa langsung melacak siapa yang meneror. Selama tiga tahun, saya dan keluarga dikawal polisi jika bepergian. Mulai dari polisi yang berseragam dan polisi yang mengenakan pakaian preman. Keluarga punmenerima keadaan ini,” jelasnya.
Inu pun mengaku salut atas ketegaran istri tercintanya yang mengetahui dirinya dipensiunkan. Seketika saya dinyatakan dipecat, saya langsung memberi tahu istri melalui ponsel. Saya berkata hari ini dipecat dan diusir dari kampus IPDN.
Hanya dalam hitungan tiga detik istri saya menjawab, Kita tidak dipecat oleh Allah, kalau Allah yang memecat kita di bumi mana kita akan tinggal. Seluruh alam raya ini milik Allah. “Saya salut dengan ketegarannya dalam menerima apa yang terjadi,” jawabnya.
Setelah pensiun, Inu mengaku mengirim surat lamaran ke beberapa perguruan tinggi. Ada sekitar puluhan surat lamaran yang dia kirim, dan ternyata semuanya diterima. “Saya heran kok diterima semua lamarannya, maka dari itu saya juga harus menyeleksi tawaran itu semua. Mengajar S2 dan S3, kalau yang S1 kalau honornya bagus aja,” katanya sembari tertawa.
Akhirnya, menjadi rektor
Universitas Pandanaran merupakan salah satu tawaran yang dia terima. Inu
mengatakan dirinya saat ini mengajar di 15 perguruan tinggi, di
antaranya Universitas Diponegoro, Universitas Udayana, dan Unilamb
Banjarmasin. “Termasuk salah satunya Universitas Pandanaran, karena di
universitas ini tidak ada jurusan ilmu pemerintahan. Mereka meminta
saya untuk menjadi rektor. Saya pun meminta untuk dicarikan lawan,
rupanya karena tidak ada calon lain maka saya diangkat menjadi rektor,
juga mengajar mata kuliah Pancasila,” jelasnya. (nji)
Bahkan ruangan tersebut pun tidak dilengkapi dengan faslitas lampu penerangan dan AC, hanya terlihat meja dan kursi rektor, meja dan kursi untuk tamu. Serta beberapa plakat, dan dispenser. Sangat berbeda jauh dengan kondisi ruangan Inu saat dirinya menjadi dosen di IPDN. Menanggapi hal tersebut, dirinya tidak kaget, malah ini merupakan tantangan bagi pria kelahiran 14 Juni 1952.
“Kalau di IPDN bagaimana kita menghabiskan uang, sedangkan di Unpand bagaimana kita mencari uang. Itu lebih bagus dan lebih bergairah,” katanya. Inu memaparkan banyak perguruan tinggi dimulai dari bawah, seperti kursus, kemudian meningkat menjadi akademi, sekolah tinggi lalu menjadi universitas. Sedangkan Pandanaran langsung menjadi sebuah universitas, yang mahasiswanya diambil dari pemerintah kota. Resikonya banyak mahasiswa yang drop dan jumlahnya menjadi semakin sedikit.
Hijrah ke Semarang, rupanya bisa mendekatkan Inu dengan anak-anaknya. Dia mengaku senang mengajar apalagi mengajar di Semarang yang notabene kota kelahiran Istri tercintanya. “Kebetulan anak saya sudah lulus kuliah di Undip, semua ada di Semarang. Anak bungsu saya sedang melanjutkan kuliah kedokteran di UMY,” jelasnya. (wam/nji)
Menulis 67 Buku
Inu Kencana Syafei |
MEMANG Universitas
Pandanaran bisa dikatakan berbeda dengan PTS lainnya. Universitas
Pandanaran yang lokasinya sangat ”mewah” atau mepet sawah ini sempat
tidak menerima mahasiswa baru. Bahkan ruangan rektor yang kini ditempati
Inu Kencana sangatlah sederhana, ruangan kecil yang hanya berukuran 3x3
meter ini dan berada di pojok lantai dua ini dimanfaatkan sebagai ruang
rektor.
Bahkan ruangan tersebut pun tidak dilengkapi dengan faslitas lampu penerangan dan AC, hanya terlihat meja dan kursi rektor, meja dan kursi untuk tamu. Serta beberapa plakat, dan dispenser. Sangat berbeda jauh dengan kondisi ruangan Inu saat dirinya menjadi dosen di IPDN. Menanggapi hal tersebut, dirinya tidak kaget, malah ini merupakan tantangan bagi pria kelahiran 14 Juni 1952.
“Kalau di IPDN bagaimana kita menghabiskan uang, sedangkan di Unpand bagaimana kita mencari uang. Itu lebih bagus dan lebih bergairah,” katanya. Inu memaparkan banyak perguruan tinggi dimulai dari bawah, seperti kursus, kemudian meningkat menjadi akademi, sekolah tinggi lalu menjadi universitas. Sedangkan Pandanaran langsung menjadi sebuah universitas, yang mahasiswanya diambil dari pemerintah kota. Resikonya banyak mahasiswa yang drop dan jumlahnya menjadi semakin sedikit.
Bahkan Unpand sempat tidak
menerima mahasiswa baru dan meluluskan mahasiswa yang tersisa. Angka
nilai terendah saat itu yang penting lulus dulu mahasiswa yang tersisa.
Namun sekarang jumlah mahasiswa meningkat bertambah tiga kali lipat.
“Orang harus berjiwa besar, Allah menolong kita jangan patah semangat
dulu. Berjuang dulu sampai di batas akhir perjuangan, terus kita pasrah
dan berdoa,” ucapnya yang mengaku tidak bisa menyetir mobil.
“Saya sudah mengarang 67 judul
buku,” kata Inu Kencana saat pertama kali bertemu Harsem di ruangan
rektor yang terlihat sangat sederhana ini. Salah satu buku yang sudah
dia buat diperlihatkan kepada Harsem adalah Sistem Politik Indonesia.
Dari mengarang buku inilah yang membuatnya akan dikukuhkan menjadi
gurubesar di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY).
“Banyak profesor doktor yang
membajak buku orang lain. Saya ingin kalau memang menjadi pakar, jadilah
pakar yang "kualified" katanya.
Di tengah kesibukannya mengajar,
bapak tiga orang anak ini mengaku gemar membaca. Setidaknya ada
sebanyak 11.000 koleksi buku terpajang rapi di kediamannya. Dan semua
buku yang dimiliki dia sudah baca, bahkan ada beberapa buku yang dia
baca berulang-ulang. “Sudah tamat semua saya baca, beberapa buku malah
saya baca ulang,” katanya.
Hijrah ke Semarang, rupanya bisa mendekatkan Inu dengan anak-anaknya. Dia mengaku senang mengajar apalagi mengajar di Semarang yang notabene kota kelahiran Istri tercintanya. “Kebetulan anak saya sudah lulus kuliah di Undip, semua ada di Semarang. Anak bungsu saya sedang melanjutkan kuliah kedokteran di UMY,” jelasnya. (wam/nji)
BIO INU
Nama
Dr Drs H Inu Kencana Syafei BA MSi
Pangkat/Gol Terakhir
Pembina Utama Muda (IV/C)
Jabatan Terakhir
Lektor Kepala (1-50-01) Pensiun Juli 2007
Tempat/Tanggal Lahir
Payakumbuh, 14 Juni 1952
Alamat
Perum Permata Biru Blok AB 17 Cinunuk
Cileunyi Bandung
Kegemaran
Menulis Buku
Pendidikan
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri lulus 1979
S1 Institut Ilmu Pemerintahan lulus 1987
S2 Universitas Gajahmada lulus 2001
S3 Universitas Padjajaran
lulus 2010
Istri
Indah Prasetiati Syafei
Anak
Raka Manggala Syafiie S Psi
(Dosen Unpand)
Nagara Balagama Syafiie SSn
(Dosen Unpand)
Periskha Bunda Syafiie
(Mahasiswa UMY)
Dr Drs H Inu Kencana Syafei BA MSi
Pangkat/Gol Terakhir
Pembina Utama Muda (IV/C)
Jabatan Terakhir
Lektor Kepala (1-50-01) Pensiun Juli 2007
Tempat/Tanggal Lahir
Payakumbuh, 14 Juni 1952
Alamat
Perum Permata Biru Blok AB 17 Cinunuk
Cileunyi Bandung
Kegemaran
Menulis Buku
Pendidikan
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri lulus 1979
S1 Institut Ilmu Pemerintahan lulus 1987
S2 Universitas Gajahmada lulus 2001
S3 Universitas Padjajaran
lulus 2010
Istri
Indah Prasetiati Syafei
Anak
Raka Manggala Syafiie S Psi
(Dosen Unpand)
Nagara Balagama Syafiie SSn
(Dosen Unpand)
Periskha Bunda Syafiie
(Mahasiswa UMY)
Label:
Gagas,
Lebih jauh dengan